BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pemberdayaan (
Empowerment ) dapat didefinisikan sebagai ‘proses’ maupun sebagai hasil ‘hasil’
(DuBouis dan Miley, 2005; Suharto, 2005a). Sebagai sebuah proses, pemberdayaan
adalah serangkaian aktifitas yang terorganisir dan ditujukan untuk meningkatkan
kekuasaan, kapasitas, dan kemampuan personal, interpersonal atau politik
sehingga individu, keluarga atau masyarakat mampu melakukan tindakan guna
memperbaiki ebagai sebuah hasil, pemberdayaan menunjuk pada tercapainya sebuah
keadaan , yakni pemberdayaan atau keberkuasaan yang mencakup : (a) state of
mind, seperti perasaan berharga dan mampu mengontrol kehidupannya; (b)
reallocation of power yang dihasilkan dari pemodifikasian struktur sosial.
Dengan demikian,
baik sebagai proses maupun tujuan, pemberdayaan mencakup tidak hanya
peningkatan kemampuan seseorang atau kelompok orang melainkan pula perubahan
sistem dan struktur sosial. Pemberdayaan tidak hanya mencakup peningkatan
kemampuan dalam bidang ekonomi (misalnya, meningkatnya pendapatan), melainkan
pula kemampuan dalam bidang sosial-politik (misalnya, menyatakan aspirasi,
berpartisipasi dalam kegiatan sosial, menjangkau sumber-sumber kemasyarakatan
dan pelayanan sosial).
Menguatnya ide
tentang pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari adanya pergeseran paradigma
dalam melihat kemiskinan; khususnya dari perspektif individual dan cultural
yang berwajah blaming the victim ke perspektif institusional dan struktural yang cenderung bermula blaming
the system (Parsons, Jorgensen, dan Hernandez, 1994; Suharto, 2005b).
Menurut
perspektif individual-kultural, kemiskinan diakibatkan oleh kesalahan-kesalahan
individu yang bersangkutan. Seseorang miskin karena ia malas, tidak mau
bekerja, atau tidak memiliki etos wirausaha. Sebaliknya, perspektif
institusional-struktural memandang bahwa seseorang miskin disebabkan oleh
sistem sosial yang tidak adekuat, tidak adil, dan bahkan menindas. Menurut kaum
strukturalis, seseorang miskin bukan karena tidak mau bekerja, melainkan karena
tidak ada pekerjaan; miskin karena dimiskinkan; ia tidak berdaya karena
diperdayakan oleh struktur sosial mengitarinya.
1.2.
Tujuan
1.2.1. Agar
para mahasiswa dapat mengenali dan memahami apa saja yang termasuk dalam hal
Pemberdayaan.
1.2.2. Agar
mahasiswa sebagai calon pekerja sosial mampu untuk melakukan pendekatan menuju
pemberdayaan.
1.3.
Rumusan
Masalah
1.3.1.
Apa
yang dimaksud dengan pemberdayaan?
1.3.2.
Apa
tujuan, peran peksos, dan dimensi dalam pemberdayaan?
1.3.3.
Siapa
saja yang menjadi sasaran pemberdayaan?
1.3.4.
Apa
saja pendekatan dan teknik pemberdayaan masyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Definisi
dan Indikator Pemberdayaan
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan
(empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan).
Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan.
Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain
melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka.
Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh
dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak
berubah atau tidak dapat dirubah.
Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian
di atas. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam
konteks relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial.
Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman
kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian
memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses
pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal:
a) Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika
kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara
apapun.
b) Bahwa kekuasaan dapat diperluas.
Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.
Pengertian dan Indikator Pemberdayaan
a) Pemberdayaan bertujuan untuk
meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife,
1995:56).
b) Pemberdayaan menunjuk pada usaha
pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan
Levin (1987:xiii).
c) Pemberdayaan adalah suatu cara
dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai
(atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984:3).
d) Pemberdayaan adalah sebuah proses
dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi
pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta
lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya…Pemberdayaan menekankan bahwa
orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya
(Parsons, et al., 1994:106).
e) Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan
orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap
sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan
pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan;
dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang
mempengaruhi mereka.
Berdasarkan definisi-definisi pemberdayaan di atas,
dapat dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai
proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan
atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu
yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk
pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu
masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan
dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik,
ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan
aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan
mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan
sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan
sebagai sebuah proses.
Schuler, Hashemi dan Riley mengembangkan beberapa
indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks
pemberdayaan (Girvan, 2004):
1. Kebebasan mobilitas: kemampuan
individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke
pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat
mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian
2. Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’:
kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari
(beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut,
sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan
ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin
pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan
menggunakan uangnya sendiri.
3. Kemampuan membeli komoditas ‘besar’:
kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti
lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya
indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat
keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat
membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
4. Terlibat dalam pembuatan
keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri mapun
bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai
renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.
5. Kebebasan relatif dari dominasi
keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada
seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah,
perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang
bekerja di luar rumah.
6. Kesadaran hukum dan politik:
mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan; seorang
anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat
nikah dan hukum-hukum waris.
7. Keterlibatan dalam kampanye dan
protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam
kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya, terhadap suami
yang memukul istri; istri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang
tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi
dan pegawai pemerintah.
8. Jaminan ekonomi dan kontribusi
terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang
dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara
sendiri atau terpisah dari pasangannya
2.2.
Tujuan, Peranan Peksos, dan Dimensi
dalam Pemberdayaan
a) Tujuan pemberdayaan adalah membantu
klien untuk melihat :
Ø Diri mereka sendiri sebagai kausal
agents dalam menemukan solusi masalahnya.
Ø Pekerjaan sosial memiliki
pengetahuan dan ketrampilan yang dapat digunakan klien.
Ø Pekerjaan sosial sebagai sesama dan
partner dalam pemecahan masalah.
Ø Struktur kekuasaan kompleks dan
terbuka untuk mempengaruhi.
Model
praktiknya adalah :
Ø Mengatasi
respon klien yang muncul karena penilaian negatif sehingga mereka melihat
dirinya berpengaruh pada masalah.
Ø Menemukan
dan menghilangkan rintangan serta mendapatkan dan memperkuat dukungan untuk pemecahan
masalah yang efektif.
Karakteristik
praktis non-rasis dapat diperluas agar dapat diterapkan pada kelompok tertindas
:
Ø Kemampuan
melihat penjelasan alternatif tentang perilaku dan terutama alternatif perilaku
yang ditolak karena salah.
Ø Kemampuan
menggunakan petunjuk untuk memilih alternatif penjelasan yang lebih relevan
dengan klien.
Ø Kemampuan
merasakan kehangatan, perhatian yang murni dan empati tanpa menghiraukan ras
dan karakteristik lainnya.
Ø Kemampuan
menhadapai klien jika kehangatan sejati disalah tafsirkan atau menyimpang.
b) Peranan
sosial yang terbaik dalam pemberdayaan adalah :
Ø Konsultan
sumber daya - menghubungkan klien dengan sumber daya dengan cara yang dapat
meningkatkan esteem dan kemampuan memecahkan masalah mereka.
Ø Sensitier
membantu klien memperoleh pengetahuan tentang dirinya.
Ø Guru
/ trainer mengajarkan proses dan ketrampilan yang memungkinkan klien
menyelesaikan tugas spesifik.
c) Dimensi Pemberdayaan
Kieffer (1981) mengemukakan tiga dimensi pemberdayaan:
Ø Kompetensi kerakyatan
Ø Kemampuan sosiopolitik
Ø Kompetensi partisipatif (Suharto,
1997:215)
Ø Menurut Parsons et al (1994:106),
pemberdayaan sedikitnya mencakup tiga dimensi:
Ø Sebuah proses pembangunan yang
bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan
sosial yang lebih besar
Ø Sebuah keadaan psikologis yang
ditandai oleh rasa percaya-diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang
lain.
Ø Pembebasan yang dihasilkan dari
sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang
lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah
tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih
menekan (Parsons et al., 1994:106).
2.3.
Kelompok Lemah dan Ketidakberdayaan
Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan
masyarakat miskin dan kelompok lemah lainnya. Mereka adalah kelompok yang pada
umumnya kurang memiliki keberdayaan. Oleh karena itu, untuk melengkapi
pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengenai kelompok lemah
dan ketidakberdayaan yang dialaminya. Beberapa kelompok yang dapat
dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi:
a) Kelompok lemah secara struktural,
baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis.
b) Kelompok lemah khusus, seperti
manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat
terasing.
c) Kelompok lemah secara personal,
yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan/atau keluarga.
d) Kelompok-kelompok tertentu yang
mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat kelas sosial
ekonomi rendah, kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta
para penyandang cacat, adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan.
Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda dari ‘keumuman’ kerapkali dipandang
sebagai ‘deviant’ (penyimpang). Mereka seringkali kurang dihargai dan bahkan
dicap sebagai orang yang malas, lemah, yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya kekurangadilan
dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.
Menurut Berger dan Nenhaus dan Nisbet (Suharto, 1997),
‘struktur-struktur penghubung’ (mediating structures) yang memungkinkan
kelompok-kelompok lemah mengekspresikan aspirasi dan menunjukkan kemampuannya
terhadap lingkungan sosial yang lebih luas, kini cenderung melemah. Munculnya
industrialisasi yang melahirkan spesialisasi kerja dan pekerjaan mobile telah
melemahkan lembaga-lembaga yang dapat berperan sebagai struktur penghubung antara
kelompok masyarakat lemah dengan masyarakat luas. Organisasi-organisasi sosial,
lembaga-lembaga keagamaan (mesjid, gereja), dan lembaga keluarga yang secara
tradisional merupakan lembaga alamiah yang dapat memberi dukungan dan bantuan
informal, pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan para anggotanya, cenderung
semakin melemah peranannya. Oleh karena itu, seringkali sistem ekonomi yang
diwujudkan dalam berbagai bentuk pembangunan proyek-proyek fisik, selain di
satu pihak mampu meningkatkan kualitas hidup sekelompok orang, juga tidak
jarang malah semakin meminggirkan kelompok-kelompok tertentu dalam
masyarakat.
Sennet dan Cabb (1972) dan Conway (1979) menyatakan
bahwa ketidakberdayaan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: ketiadaan
jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses
terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan
pelatihan-pelatihan, dan adanya ketegangan fisik maupun emosional (Suharto,
1997). Para teoritisi, seperti Seeman (1985), Seligman (1972), dan Learner
(1986) meyakini bahwa ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat
merupakan akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi
mereka dengan masyarakat. Mereka menganggap diri mereka sebagai lemah, dan
tidak berdaya, karena masyarakat memang menganggapnya demikian. Seeman menyebut
keadaan ini dengan istilah ‘alienasi’. Sementara Seligman menyebutnya sebagai
‘ketidakberdayaan yang dipelajari’ (learned helplessness), dan Learner
menamakannya dengan istilah ‘ketidakberdayaan surplus’ (surplus
powerlessness)(Suharto, 1997:212-213).
Learner lebih jauh menjelaskan konsep ‘pentidakberdayaan’
ini sebagai proses dengan mana orang merasa tidak berdaya melalui pembentukan
seperangkat pikiran emosional, intelektual dan spiritual yang mencegahnya dari
pengaktualisasian kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya ada. Sebagai contoh,
para penerima Bantuan Sosial Keluarga (AFDC/Aid for Families with Dependent
Children) merasa tidak berdaya untuk merubah program dan bentuk-bentuk
pelayanan AFDC. Mereka memiliki persepsi bahwa dirinya tidak mampu, tidak
berdaya, atau bahkan tidak berhak untuk merubah program-program tersebut.
Menurut Kieffer (1984: 9), ketidakberdayaan yang dipersepsi ini merupakan hasil
dari pembentukan interaksi terus-menerus antara individu dan lingkungannya yang
meliputi kombinasi antara sikap penyalahan-diri sendiri, perasaan tidak
dipercaya, keterasingan dari sumber-sumber sosial dengan perasaan tidak mampu
dalam perjuangan politik.
Solomon (1979) melihat bahwa ketidakberdayaan dapat
bersumber dari faktor internal maupun eksternal. Menurutnya, ketidakberdayaan
dapat berasal dari penilaian diri yang negatif; interaksi negatif dengan
lingkungan, atau berasal dari blokade dan hambatan yang berasal dari lingkungan
yang lebih besar (Suharto, 1997:213-214):
a) Penilaian diri yang negatif.
Ketidakberdayaan dapat berasal dari adanya sikap penilaian negatif yang ada
pada diri seseorang yang terbentuk akibat adanya penilaian negatif dari orang
lain. Misalnya wanita atau kelompok minoritas merasa tidak berdaya karena
mereka telah disosialisasikan untuk melihat diri mereka sendiri sebagai orang
yang tidak memiliki kekuasaan setara dalam masyarakat.
b) Interaksi negatif dengan orang lain.
Ketidakberdayaan dapat bersumber dari pengalaman negatif dalam interaksi antara
korban yang tertindas dengan sistem di luar mereka yang menindasnya. Sebagai contoh,
wanita atau kelompok minoritas seringkali mengalami pengalaman negatif dengan
masyarakat di sekitarnya. Pengalaman pahit ini kemudian menimbulkan perasaan
tidak berdaya, misalnya rendah diri, merasa tidak mampu, merasa tidak patut
bergabung dengan organisasi sosial dimana mereka berada.
c) Lingkungan yang lebih luas.
Lingkungan luas dapat menghambat peran dan tindakan kelompok tertentu. Situasi
ini dapat mengakibatkan tidak berdayanya kelompok yang tertindas tersebut dalam
mengekpresikan atau menjangkau kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat.
Misalnya kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok gay atau lesbian dalam
memperoleh pekerjaan dan pendidikan.
2.4.
Pendekatan Pemberdayaan
Menurut Ife (1995: 61-64), pemberdayaan memuat dua
pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini
diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan
kekuasaan atau penguasaan klien atas:
a) Pilihan-pilihan personal dan
kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan
mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan.
b) Pendefinisian kebutuhan: kemampuan
menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya.
c) Ide atau gagasan: kemampuan
mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara
bebas dan tanpa tekanan.
d) Lembaga-lembaga: kemampuan
menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti
lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan.
e) Sumber-sumber: kemampuan
memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan.
f) Aktivitas ekonomi: kemampuan
memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran
barang serta jasa.
g) Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya
dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.
Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan
di atas dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan. Parsons, et al.,
(1994: 112-113) menyatakan, bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara
kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang menyatakan bahwa proses
pemberdayaan terjadi dalam relasi satu-lawan-satu antara pekerja sosial dan
klien dalam setting pertolongan perseorangan. Meskipun pemberdayaan seperti ini
dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan diri klien, hal ini bukanlah
strategi utama pemberdayaan.
Namun demikian, tidak semua intervensi pekerjaan
sosial dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi
pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya
strategi ini pun tetap berkaitan dengan kolektivitas, dalam arti mengkaitkan
klien dengan sumber atau sistem lain di luar dirinya. Karenanya, dalam konteks
pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan: mikro,
mezzo, dan makro.
a) Pendekatan Mikro. Pemberdayaan
dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress
management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih
klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut
sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach).
b) Pendekatan Mezzo. Pemberdayaan
dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan
kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok,
biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan
permasalahan yang dihadapinya.
c) Pendekatan Makro. Pendekatan ini
disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena
sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan
kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian
masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini.
Pendekatan ini memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk
memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan
strategi yang tepat untuk bertindak.
2.5.
Prinsip
Pekerjaan Sosial
Pelaksanaan pendekatan di atas berpijak pada pedoman
dan prinsip pekerjaan sosial. Menurut beberapa penulis, seperti Solomon (1976),
Rappaport (1981, 1984), Pinderhughes (1983), Swift (1984), Swift & Levin
(1987), Weick, Rapp, Sulivan dan Kisthardt (1989), terdapat beberapa prinsip
dan asumsi pemberdayaan menurut perspektif pekerjaan sosial (Suharto,
1997:216-217).
a) Pemberdayaan adalah proses
kolaboratif dengan mana masyarakat miskin dan pekerja sosial bekerjasama
sebagai partner
b) Proses pemberdayaan menempatkan
masyarakat miskin sebagai kompeten dan mampu menjangkau sumber-sumber dan
kesempatan-kesempatan.
c) Masyarakat miskin harus melihat diri
mereka sendiri sebagai agen penting yang dapat mempengaruhi perubahan.
d) Kompetensi diperoleh atau dipertajam
melalui pengalaman hidup, khususnya pengalaman yang memberikan perasaan mampu
pada masyarakat miskin.
e) Solusi-solusi, yang berasal dari
situasi khusus, harus beragam dan menghargai keberagaman yang berasal dari
faktor-faktor yang berada pada situasi masalah tersebut.
f) Jaringan-jaringan sosial informal
merupakan sumber dukungan yang penting bagi penurunan ketegangan dan
meningkatkan kompetensi serta kemampuan pengendalian seseorang.
g) Masyarakat miskin harus
berpartisipasi dalam pemberdayaan mereka sendiri: tujuan, cara dan hasil harus
dirumuskan oleh mereka sendiri.
h) Tingkat kesadaran merupakan kunci
dalam pemberdayaan, karena pengetahuan dapat memobilisasi tindakan bagi
perubahan.
i)
Pemberdayaan
melibatkan akses terhadap sumber-sumber dan kemampuan untuk menggunakan
sumber-sumber tersebut secara efektif.
j)
Proses
pemberdayaan besifat dinamis, sinergis, berubah terus, evolutif; permasalahan
selalu memiliki beragam solusi.
k) Pemberdayaan dicapai melalui
struktur-struktur personal dan pembangunan ekonomi secara paralel.
2.6.
Teknik dalam Pemberdayaan Masyarakat
Dubois dan Miley (1992: 211) memberi beberapa cara
atau teknik yang lebih spesifik yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan
masyarakat:
a) Membangun relasi pertolongan yang:
Ø merefleksikan respon empati;
Ø menghargai pilihan dan hak klien
menentukan nasibnya sendiri (self-determination);
Ø menghargai keberbedaan dan keunikan
individu;
Ø menekankan kerjasama klien (client
partnerships).
b) Membangun komunikasi yang:
Ø menghormati martabat dan harga diri
klien;
Ø mempertimbangkan keragaman individu;
Ø berfokus pada klien;
Ø menjaga kerahasiaan klien.
c) Terlibat dalam pemecahan masalah
yang:
Ø memperkuat partisipasi klien dalam
semua aspek proses pemecahan masalah;
Ø menghargai hak-hak klien;
Ø merangkai tantangan-tantangan sebagai
kesempatan belajar;
Ø melibatkan klien dalam pembuatan
keputusan dan evaluasi.
d) Merefleksikan sikap dan nilai profesi
pekerjaan sosial melalui:
Ø ketaatan terhadap kode etik profesi;
Ø keterlibatan dalam pengembangan
profesional, riset, dan perumusan kebijakan;
Ø penterjemahan kesulitan-kesulitan
pribadi ke dalam isu-isu publik;
Ø penghapusan segala bentuk
diskriminasi dan ketidaksetaraan kesempatan.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dalam kerangka pemberdayaan yang terpenting adalah
dimulai dengan bagaimana cara menciptakan kondisi, suasana atau iklim yang
memungkin potensi masyarakat untuk berkembang. Dalam mencapai tujuan
pemberdayaan, berbagai upaya dapat dilakukan memlalui berbagai strategi tersebut
dalam modernisasi yang mengarah pada perubahan struktur sosial, ekonomi dan
budaya yang bersumber pada peran serta masyarakat setempat. Prioritas untama
program pemberdayaan masyarakat adalah terciptanya kemandirian, yang artinya
masyarakat diharapkan mampu menolong dirinya sendiri dalam berbagai hal,
terutama yang menyangkut kelangsungan hidupnya.
Keberdayaan pada umumnya terletak pada proses
pengambilan keputusan sendiri untuk mengembangkan pilihan-pilihan adaptasi
terhadap perubahan lingkungan dan sosialisasinya.
3.2.
Saran
Dalam
mempelajari pembahasan ini sebaiknya kita dapat memahami apa yang dimaksud
dengan pemberdayaan, bukan hanya dengan memahami dan mengetahui teorinya saja.
Tetapi hendaknya dengan pembahasan ini kita mampu untuk memberdayakan diri kita
sendiri dan juga memberdayakan orang lain yang kita bantu agar kita semua dapat
meningkatkan keberfungsian sosial yang efektif terutama dalam peran kita
sebagai seorang calon pekerja sosial.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Suharto, Edi
(1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran,
Bandung
0 comments:
Post a Comment