Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

Social Icons

Saturday, May 19, 2012

PEMBERDAYAAN


BAB I
PENDAHULUAN


1.1.       Latar Belakang

Pemberdayaan ( Empowerment ) dapat didefinisikan sebagai ‘proses’ maupun sebagai hasil ‘hasil’ (DuBouis dan Miley, 2005; Suharto, 2005a). Sebagai sebuah proses, pemberdayaan adalah serangkaian aktifitas yang terorganisir dan ditujukan untuk meningkatkan kekuasaan, kapasitas, dan kemampuan personal, interpersonal atau politik sehingga individu, keluarga atau masyarakat mampu melakukan tindakan guna memperbaiki ebagai sebuah hasil, pemberdayaan menunjuk pada tercapainya sebuah keadaan , yakni pemberdayaan atau keberkuasaan yang mencakup : (a) state of mind, seperti perasaan berharga dan mampu mengontrol kehidupannya; (b) reallocation of power yang dihasilkan dari pemodifikasian struktur sosial.
Dengan demikian, baik sebagai proses maupun tujuan, pemberdayaan mencakup tidak hanya peningkatan kemampuan seseorang atau kelompok orang melainkan pula perubahan sistem dan struktur sosial. Pemberdayaan tidak hanya mencakup peningkatan kemampuan dalam bidang ekonomi (misalnya, meningkatnya pendapatan), melainkan pula kemampuan dalam bidang sosial-politik (misalnya, menyatakan aspirasi, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, menjangkau sumber-sumber kemasyarakatan dan pelayanan sosial).
Menguatnya ide tentang pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari adanya pergeseran paradigma dalam melihat kemiskinan; khususnya dari perspektif individual dan cultural yang berwajah blaming the victim ke perspektif institusional  dan struktural yang cenderung bermula blaming the system (Parsons, Jorgensen, dan Hernandez, 1994; Suharto, 2005b).
Menurut perspektif individual-kultural, kemiskinan diakibatkan oleh kesalahan-kesalahan individu yang bersangkutan. Seseorang miskin karena ia malas, tidak mau bekerja, atau tidak memiliki etos wirausaha. Sebaliknya, perspektif institusional-struktural memandang bahwa seseorang miskin disebabkan oleh sistem sosial yang tidak adekuat, tidak adil, dan bahkan menindas. Menurut kaum strukturalis, seseorang miskin bukan karena tidak mau bekerja, melainkan karena tidak ada pekerjaan; miskin karena dimiskinkan; ia tidak berdaya karena diperdayakan oleh struktur sosial mengitarinya.

1.2.       Tujuan

1.2.1.      Agar para mahasiswa dapat mengenali dan memahami apa saja yang termasuk dalam hal Pemberdayaan.
1.2.2.      Agar mahasiswa sebagai calon pekerja sosial mampu untuk melakukan pendekatan menuju pemberdayaan.

1.3.       Rumusan Masalah
1.3.1.      Apa yang dimaksud dengan pemberdayaan?
1.3.2.      Apa tujuan, peran peksos, dan dimensi dalam pemberdayaan?
1.3.3.      Siapa saja yang menjadi sasaran pemberdayaan?
1.3.4.      Apa saja pendekatan dan teknik pemberdayaan masyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN


2.1.       Definisi dan Indikator Pemberdayaan
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah.
Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal: 
a)      Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun. 
b)      Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis. 
Pengertian dan Indikator Pemberdayaan
a)      Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995:56).
b)      Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin (1987:xiii).
c)      Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984:3).
d)     Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya…Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et al., 1994:106).
e)      Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Berdasarkan definisi-definisi pemberdayaan di atas, dapat dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.
Schuler, Hashemi dan Riley mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan (Girvan, 2004):
1.      Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian
2.      Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
3.      Kemampuan membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
4.      Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.
5.      Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar rumah.
6.      Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
7.      Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang memukul istri; istri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.
8.      Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya

2.2.       Tujuan, Peranan Peksos, dan Dimensi dalam Pemberdayaan

a)      Tujuan pemberdayaan adalah membantu klien untuk melihat :

Ø  Diri mereka sendiri sebagai kausal agents dalam menemukan solusi masalahnya.
Ø  Pekerjaan sosial memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang dapat digunakan klien.
Ø  Pekerjaan sosial sebagai sesama dan partner dalam pemecahan masalah.
Ø  Struktur kekuasaan kompleks dan terbuka untuk mempengaruhi.

Model praktiknya adalah :

Ø  Mengatasi respon klien yang muncul karena penilaian negatif sehingga mereka melihat dirinya berpengaruh pada masalah.
Ø  Menemukan dan menghilangkan rintangan serta mendapatkan dan memperkuat dukungan untuk pemecahan masalah yang efektif.

Karakteristik praktis non-rasis dapat diperluas agar dapat diterapkan pada kelompok tertindas :

Ø  Kemampuan melihat penjelasan alternatif tentang perilaku dan terutama alternatif perilaku yang ditolak karena salah.
Ø  Kemampuan menggunakan petunjuk untuk memilih alternatif penjelasan yang lebih relevan dengan klien.
Ø  Kemampuan merasakan kehangatan, perhatian yang murni dan empati tanpa menghiraukan ras dan karakteristik lainnya.
Ø  Kemampuan menhadapai klien jika kehangatan sejati disalah tafsirkan atau menyimpang.

b)      Peranan sosial yang terbaik dalam pemberdayaan adalah :

Ø  Konsultan sumber daya - menghubungkan klien dengan sumber daya dengan cara yang dapat meningkatkan esteem dan kemampuan memecahkan masalah mereka.
Ø  Sensitier membantu klien memperoleh pengetahuan tentang dirinya.
Ø  Guru / trainer mengajarkan proses dan ketrampilan yang memungkinkan klien menyelesaikan  tugas spesifik.

c)      Dimensi Pemberdayaan
Kieffer (1981) mengemukakan tiga dimensi pemberdayaan:
Ø  Kompetensi kerakyatan
Ø  Kemampuan sosiopolitik
Ø  Kompetensi partisipatif (Suharto, 1997:215)
Ø  Menurut Parsons et al (1994:106), pemberdayaan sedikitnya mencakup tiga dimensi:
Ø  Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar
Ø  Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya-diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain.
Ø  Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan (Parsons et al., 1994:106).

2.3.       Kelompok Lemah dan Ketidakberdayaan
Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat miskin dan kelompok lemah lainnya. Mereka adalah kelompok yang pada umumnya kurang memiliki keberdayaan. Oleh karena itu, untuk melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengenai kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang dialaminya. Beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi: 
a)      Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis.
b)      Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing.
c)      Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan/atau keluarga.
d)     Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat kelas sosial ekonomi rendah, kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat, adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda dari ‘keumuman’ kerapkali dipandang sebagai ‘deviant’ (penyimpang). Mereka seringkali kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang malas, lemah, yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. 

Menurut Berger dan Nenhaus dan Nisbet (Suharto, 1997), ‘struktur-struktur penghubung’ (mediating structures) yang memungkinkan kelompok-kelompok lemah mengekspresikan aspirasi dan menunjukkan kemampuannya terhadap lingkungan sosial yang lebih luas, kini cenderung melemah. Munculnya industrialisasi yang melahirkan spesialisasi kerja dan pekerjaan mobile telah melemahkan lembaga-lembaga yang dapat berperan sebagai struktur penghubung antara kelompok masyarakat lemah dengan masyarakat luas. Organisasi-organisasi sosial, lembaga-lembaga keagamaan (mesjid, gereja), dan lembaga keluarga yang secara tradisional merupakan lembaga alamiah yang dapat memberi dukungan dan bantuan informal, pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan para anggotanya, cenderung semakin melemah peranannya. Oleh karena itu, seringkali sistem ekonomi yang diwujudkan dalam berbagai bentuk pembangunan proyek-proyek fisik, selain di satu pihak mampu meningkatkan kualitas hidup sekelompok orang, juga tidak jarang malah semakin meminggirkan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. 
Sennet dan Cabb (1972) dan Conway (1979) menyatakan bahwa ketidakberdayaan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan, dan adanya ketegangan fisik maupun emosional (Suharto, 1997). Para teoritisi, seperti Seeman (1985), Seligman (1972), dan Learner (1986) meyakini bahwa ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat. Mereka menganggap diri mereka sebagai lemah, dan tidak berdaya, karena masyarakat memang menganggapnya demikian. Seeman menyebut keadaan ini dengan istilah ‘alienasi’. Sementara Seligman menyebutnya sebagai ‘ketidakberdayaan yang dipelajari’ (learned helplessness), dan Learner menamakannya dengan istilah ‘ketidakberdayaan surplus’ (surplus powerlessness)(Suharto, 1997:212-213).
Learner lebih jauh menjelaskan konsep ‘pentidakberdayaan’ ini sebagai proses dengan mana orang merasa tidak berdaya melalui pembentukan seperangkat pikiran emosional, intelektual dan spiritual yang mencegahnya dari pengaktualisasian kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya ada. Sebagai contoh, para penerima Bantuan Sosial Keluarga (AFDC/Aid for Families with Dependent Children) merasa tidak berdaya untuk merubah program dan bentuk-bentuk pelayanan AFDC. Mereka memiliki persepsi bahwa dirinya tidak mampu, tidak berdaya, atau bahkan tidak berhak untuk merubah program-program tersebut. Menurut Kieffer (1984: 9), ketidakberdayaan yang dipersepsi ini merupakan hasil dari pembentukan interaksi terus-menerus antara individu dan lingkungannya yang meliputi kombinasi antara sikap penyalahan-diri sendiri, perasaan tidak dipercaya, keterasingan dari sumber-sumber sosial dengan perasaan tidak mampu dalam perjuangan politik. 
Solomon (1979) melihat bahwa ketidakberdayaan dapat bersumber dari faktor internal maupun eksternal. Menurutnya, ketidakberdayaan dapat berasal dari penilaian diri yang negatif; interaksi negatif dengan lingkungan, atau berasal dari blokade dan hambatan yang berasal dari lingkungan yang lebih besar (Suharto, 1997:213-214):
a)      Penilaian diri yang negatif. Ketidakberdayaan dapat berasal dari adanya sikap penilaian negatif yang ada pada diri seseorang yang terbentuk akibat adanya penilaian negatif dari orang lain. Misalnya wanita atau kelompok minoritas merasa tidak berdaya karena mereka telah disosialisasikan untuk melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan setara dalam masyarakat.
b)      Interaksi negatif dengan orang lain. Ketidakberdayaan dapat bersumber dari pengalaman negatif dalam interaksi antara korban yang tertindas dengan sistem di luar mereka yang menindasnya. Sebagai contoh, wanita atau kelompok minoritas seringkali mengalami pengalaman negatif dengan masyarakat di sekitarnya. Pengalaman pahit ini kemudian menimbulkan perasaan tidak berdaya, misalnya rendah diri, merasa tidak mampu, merasa tidak patut bergabung dengan organisasi sosial dimana mereka berada. 
c)      Lingkungan yang lebih luas. Lingkungan luas dapat menghambat peran dan tindakan kelompok tertentu. Situasi ini dapat mengakibatkan tidak berdayanya kelompok yang tertindas tersebut dalam mengekpresikan atau menjangkau kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Misalnya kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok gay atau lesbian dalam memperoleh pekerjaan dan pendidikan. 

2.4.       Pendekatan Pemberdayaan
Menurut Ife (1995: 61-64), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas: 
a)      Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan.
b)      Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya.
c)      Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.
d)     Lembaga-lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan.
e)      Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan.
f)       Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa.
g)      Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.

Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan. Parsons, et al., (1994: 112-113) menyatakan, bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu-lawan-satu antara pekerja sosial dan klien dalam setting pertolongan perseorangan. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan diri klien, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan. 
Namun demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya strategi ini pun tetap berkaitan dengan kolektivitas, dalam arti mengkaitkan klien dengan sumber atau sistem lain di luar dirinya. Karenanya, dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan: mikro, mezzo, dan makro.
a)      Pendekatan Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach).
b)      Pendekatan Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
c)      Pendekatan Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Pendekatan ini memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak. 

2.5.       Prinsip Pekerjaan Sosial
Pelaksanaan pendekatan di atas berpijak pada pedoman dan prinsip pekerjaan sosial. Menurut beberapa penulis, seperti Solomon (1976), Rappaport (1981, 1984), Pinderhughes (1983), Swift (1984), Swift & Levin (1987), Weick, Rapp, Sulivan dan Kisthardt (1989), terdapat beberapa prinsip dan asumsi pemberdayaan menurut perspektif pekerjaan sosial (Suharto, 1997:216-217).
a)      Pemberdayaan adalah proses kolaboratif dengan mana masyarakat miskin  dan pekerja sosial bekerjasama sebagai partner
b)      Proses pemberdayaan menempatkan masyarakat miskin sebagai kompeten dan mampu menjangkau sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan.
c)      Masyarakat miskin harus melihat diri mereka sendiri sebagai agen penting yang dapat mempengaruhi perubahan.
d)     Kompetensi diperoleh atau dipertajam melalui pengalaman hidup, khususnya pengalaman yang memberikan perasaan mampu pada masyarakat miskin.
e)      Solusi-solusi, yang berasal dari situasi khusus, harus beragam dan menghargai keberagaman yang berasal dari faktor-faktor yang berada pada situasi masalah tersebut.
f)       Jaringan-jaringan sosial informal merupakan sumber dukungan yang penting bagi penurunan ketegangan dan meningkatkan kompetensi serta kemampuan pengendalian seseorang.
g)      Masyarakat miskin harus berpartisipasi dalam pemberdayaan mereka sendiri: tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka sendiri.
h)      Tingkat kesadaran merupakan kunci dalam pemberdayaan, karena pengetahuan dapat memobilisasi tindakan bagi perubahan.
i)        Pemberdayaan melibatkan akses terhadap sumber-sumber dan kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber tersebut secara efektif.
j)        Proses pemberdayaan besifat dinamis, sinergis, berubah terus, evolutif; permasalahan selalu memiliki beragam solusi.
k)      Pemberdayaan dicapai melalui struktur-struktur personal dan pembangunan ekonomi secara paralel.

2.6.       Teknik dalam Pemberdayaan Masyarakat
Dubois dan Miley (1992: 211) memberi beberapa cara atau teknik yang lebih spesifik yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat: 
a)      Membangun relasi pertolongan yang:
Ø merefleksikan respon empati;
Ø menghargai pilihan dan hak klien menentukan nasibnya sendiri (self-determination);
Ø menghargai keberbedaan dan keunikan individu;
Ø menekankan kerjasama klien (client partnerships).

b)      Membangun komunikasi yang:
Ø menghormati martabat dan harga diri klien;
Ø mempertimbangkan keragaman individu;
Ø berfokus pada klien;
Ø menjaga kerahasiaan klien.

c)      Terlibat dalam pemecahan masalah yang:
Ø memperkuat partisipasi klien dalam semua aspek proses pemecahan masalah;
Ø menghargai hak-hak klien;
Ø merangkai tantangan-tantangan sebagai kesempatan belajar;
Ø melibatkan klien dalam pembuatan keputusan dan evaluasi. 

d)     Merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial melalui:
Ø ketaatan terhadap kode etik profesi;
Ø keterlibatan dalam pengembangan profesional, riset, dan perumusan kebijakan;
Ø penterjemahan kesulitan-kesulitan pribadi ke dalam isu-isu publik;
Ø penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan kesempatan. 





BAB III
PENUTUP


3.1.       Kesimpulan

Dalam kerangka pemberdayaan yang terpenting adalah dimulai dengan bagaimana cara menciptakan kondisi, suasana atau iklim yang memungkin potensi masyarakat untuk berkembang. Dalam mencapai tujuan pemberdayaan, berbagai upaya dapat dilakukan memlalui berbagai strategi tersebut dalam modernisasi yang mengarah pada perubahan struktur sosial, ekonomi dan budaya yang bersumber pada peran serta masyarakat setempat. Prioritas untama program pemberdayaan masyarakat adalah terciptanya kemandirian, yang artinya masyarakat diharapkan mampu menolong dirinya sendiri dalam berbagai hal, terutama yang menyangkut kelangsungan hidupnya.

Keberdayaan pada umumnya terletak pada proses pengambilan keputusan sendiri untuk mengembangkan pilihan-pilihan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dan sosialisasinya.

3.2.       Saran

Dalam mempelajari pembahasan ini sebaiknya kita dapat memahami apa yang dimaksud dengan pemberdayaan, bukan hanya dengan memahami dan mengetahui teorinya saja. Tetapi hendaknya dengan pembahasan ini kita mampu untuk memberdayakan diri kita sendiri dan juga memberdayakan orang lain yang kita bantu agar kita semua dapat meningkatkan keberfungsian sosial yang efektif terutama dalam peran kita sebagai seorang calon pekerja sosial.


DAFTAR PUSTAKA


Ø  Suharto, Edi (1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, Bandung

0 comments:

Post a Comment