BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dari era 1980an dan
seterusnya, pemikiran yang berkembang tentang konflik etnis dalam banyak negara
Barat dan dalam konflik global, serta banyak gerakan-gerakan sosial menciptakan
kebutuhan dan kemungkinan sebuah praktek pekerjaan sosial yang menanggapi
divisi budaya dan etnis. Dua pendekatan berkaitan mencoba menghadapi isu-isu
tersebut: anti-diskriminasi dan kepekaan budaya & etnis.
Pendekatan-pendekatan ini berasal dari sebuah pemikiran tentang rasisme dan
konflik etnis, namun telah berkembang guna menginkorperasikan diskriminasi
terhadap kelompok-kelompok sosial lainnya dan bentuk ekslusi sosial yang lebih
luas. Pendekatan-pendekatan memiliki penekanan yang khas, dan pekerja sosial
harus memahami bagaimana isu-isu ini dapat diinkorperasikan dalam praktek serta
sebuah pandangan tentang posisi mereka sendiri dalam perdebatan teori, karena
hal ini memiliki konsekuensi langsung bagi bagaimana mereka menerapkan
nilai-nilai pekerjaan sosial. Teori-teori anti-diskriminasi memiliki pandangan
sosialis-kolektivis, demikian juga pendekatan kepekaan, walaupun
menginkorperasikan beberapa perspektif struktural yang bersifat sosialis,
semuanya menerapkannya dalam cara yang lebih reflektif, daripada mencari
perubahan sosial yang luas. Mereka bertujuan untuk menciptakan order sosial yang lebih responsive
terhadap masalah-masalah yang timbul.
B.
Perspektif teoritis yang lebih luas
Terdapat dua area penting dalam praktek anti-diskriminasi
dan kepekaan. Yang pertama berasal dari pembelajaran sosiologi dan psikologi
tentang bagaimana perbedaan mengarah pada divisi-divisi sosial; fokus pada
divisi-divisi adalah karekteristik utama praktek anti-diskriminasi dan anti-tekananf.
Dommelli (2002b) menekankan bahwa cara di mana divisi menciptakan
identitas-identitas sosial dapat menimbulkan tekanan adalah kajian pokok teori
anti-tekananf. Area penting lainnya adalah pembelajaran budaya-budaya dan
interaksi mereka dengan perilaku dan hubungan-hubungan dalam masyarakat. Banyak
dari teori dan penelitian yang lebih luas berhubungan dengan area pekerjaan
sosial ini terletak dalam pembelajaran sosiologi, dan pada cakupan yang lebih
sempit, literatur psikologi; fokus pada etnisitas dan budaya adalah
karakteristik utama praktek kepekaan. Keduanya berjalan secara tumpang tindih
namun memiliki dua tujuan utama yang berbeda: praktek anti-diskriminasi dan
anti-tekananf bertujuan mentransformasikan perilaku-perilaku sosial, praktek kepekaan
bertujuan memodifikasi praktek dan teori pekerjaan sosial yang lebih luas.
Pendekatan-pendekatan anti-tekananf pada pekerjaan sosial
memiliki beragam perspektif dan model pekerjaan yang telah berkembang pada
akhir 1980 dan 90an. Terdapat
pertimbangan-pertimbangan politis dalam negara-negara Barat yang demokratis.
Pertimbangan ini berkembang secara terpisah dari contoh-contoh konflik sosial
yang serius, seperti kerusuhan dalam kota di Inggris pada awal 1980an, yang
menghasilkan pengasingan orang kulit hitam berusia muda, kerusuhan serupa dan
kriminalitas tingkat tinggi oleh orang kulit hitam di AS, konflik di Jerman
Italia atas para pengungsi dari Eropa Timur dan di Prancis atas para pengungsi
dari Afrika. Tanggapan resmi pada masalah-masalah ini bersifat liberal. Yakni,
mereka berfokus pada pengurangan ketidaksetaraan dan marginalisasi oleh
kebijakan-kebijakan dan praktek yang mengupayakan inklusi sosial (Barry dan
Hallett, 1998). Praktek anti-diskriminasi juga berasal dari pemikiran dalam ide
radikal bagi kelompok-kelompok orang dalam masyarakat yang mengalami
ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Karena teori-teori radikal mempertanyakan
order sosial yang sudah ada, ia mengganggap masalah sebagai salah satu order
dan struktur sosial daripada masalah-masalah individu atau kelompok, atau
kerugian.
Banyak
negara menghadapi masalah konflik antara kelompok etnis dan budaya yang
berbeda-beda dengan cara mereka sendiri. Dalam beberapa negara, terdapat suku
asli, seperti suku Amerika asli di Kanada dan AS, orang Inuit di Kanada, orang
Sami di negara-negara Nordic, kaum gypsi atau Romani di Eropa Selatan serta
suku Aborigin dan Maori di Australia dan Selandia Baru (Dixon dan Scheurell,
1995). Kesulitan-kesulitan sering muncul karena migrasi ke dalam selama sejarah
panjang oleh kelompok etnis yang kuat dan tekanan jangka panjang serta konflik,
sebagaimana dalam contoh Irlandia Utara oleh O’Hagan; contoh lain dapat berupa
Israel/Palestina.
Menanggapi situasi-situasi tersebut sering mengarah pada
penekanan pada respek bagi perbedaan etnis atau multikulturalisme (Isajiw,
1997b), dan dalam pekerjaan sosial terhadap kepekaan budaya dan etnis. Tidak
ada teori keseluruhan yang mengkaji multikulturalisme (Rex, 1997). Walaupun
demikian, ia berisaha menginkorperasikan kelompok-kelompok yang berbeda dari
populasi dominan ke dalam sebuah bangsa atau komunitas dengan menilai
kontribusi kebudayaan mereka pada seluruh masyarakat dan menekankan nilai
perbedaan dan pluralisme. Dengan jelas, ia merupakan lawan dari separatisme,
dan ide ini berpengaruh pada saat kampanye-kampanye sosial melawan
kebijakan-kebijakan sosial berdasarkan separasi kelompok budaya dan etnis dalam
gerakan hak warga AS, apartheid Afrika Selatan, Australia, dan Selandia Baru,
di mana terdapat beban untuk memelihara identitas budaya populasi Aborigin dan
Maori. Sanders (1978) mendefinisikan multikulturalisme sebagai kenyataan
perbedaan budaya, memudahkan individu-individu menjaga tradisi budaya mereka
dan mengintegrasikan tradisi budaya yang berbeda ke dalam masyarakat, melawan
budaya tunggal yang dominan. Pengetahuan tersebut membuat pelayanan menjadi
lebih tepat dan responsif. Banyak literatur berfokus pada budaya, namun sebuah
elemen signifikan perbedaan budaya muncul dari perbedaan agama dan spiritual.
Terdapat sebuah kepentingan yang berkembang dalam memahami
pengalaman-pengalaman agamawi dan spiritual sebagai sebuah hasil (lihat Bab 9).
Sebuah
sumber penting ide-ide adalah penelitian dan tanggapan pada isu-isu sosial
berkaitan dengan ras dan etnisitas, namun teori feminis dan pekerjaan pada
keterbatasan (mental dan fisik) dan seksualitas juga penting. Praktek
anti-diskriminasi dan anti-tekananf berupaya membawa area-area pemikiran ini ke
dalam sebuah teori dan praktek yang menjangkau, meliputi area di mana orang
mengalami diskriminasi dan tekanan. Kepekaan dengan kuat berfokus pada
etnisitas dan ras, walaupun ia dapat diterapkan pada divisi-divisi sosial lain
di mana kepekaan dibutuhkan. Walaupun demikian, Devore dan Schelsinger (1999)
mengemukakan bahwa banyak kelompok etnis minoritas tidak menerima asosiasi
dengan tekanan-tekanan yang lebih luas, karena mereka adalah faktor-faktor
utama yang terlibat dalam operasi kelompok-kelompok kulit hitam dan etnis
minoritas. Kelompok lain biasanya melibatkan teori anti-diskriminasi
dan anti-tekananf. Walauoun demikian, teori anti-diskriminasi dan anti-tekananf
berasal dari penilaian analisa ilmiah sosial yang menyatakan bahwa tekanan
datang dari ketidaksetaraan muncul dari kekuatan golongan berkuasa dan
memandang kelompok lain dipengaruhi oleh proses serupa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Anti-diskriminasi
Thompson (2003a: 19)
menngemukakan bahwa sebuah aspek penting dari banyak diskriminasi adalah sebuah
sejarah pembelajaran yang menginkorperasikan asumsi-asumsi luas tentang
inferioritas kategori-kategori biologis tertentu. Pembelajaran ilmiah sosial
kontemporer mempertanyakan asumsi biologis keliru, yang mendasari diskriminasi
terhadap kategori-kategori sosial, memahami bahwa konstruksi-konstruksi sosial
yang mengarah pada asumsi-asumsi tersebut, dan perilaku diskriminatif yang
dihasilkannya. Terdapat sebuah literatur pemikiran-pemikiran tentang
‘ras’ dan etnisitas sebagai faktor-faktor dalam hubungan-hubungan dan struktur
sosial. Meninjau kembali sejarah ide-ide tersebut, Banton (1987) menunjukan
bagaimana ‘ras’ di Eropa diasosiasikan dengan usia. Pada masa colonial,
upaya-upaya dilakukan untuk membuat perbedaan antara jenis-jenis ras, yang
sering dihubungkan dengan warna kulit. Jenis-jenis ras saling terhubung pada
abad ke-19 dengan perkembangan ide-ide evolusioner dalam biologi, sehingga
jenis-jenis yang berbeda dipandang berhubungan dengan garis perkembangan
evolusioner yang berbeda. Mereke diasosiasikan dengan status-status sosial,
makin berhasillah masyarakat dominan menyatakan superioritas mereka atas
kelompok lain. Sebagaimana ‘ras’ berhubungan dengan sama lain, superioritas dan
inferioritas menjadi posisi-posisi kelas dalam masyarakat di mana terdapat ras
yang berbeda. Terdapat sebuah pergerakan yang beranjak dari asumsi-asumsi bahwa
ras biologis antara ‘ras’ (namun pada kenyataanya tidak ada, ‘ras’ tidak
memiliki validitas sebagai istilah) membenarkan superioritas pada sebuah
pemikiran tentang perbedaan budaya dan sosial.
Diskriminasi
berarti mengidentifikasi individu dan kelompok dengan karakteristik tertentu
dan memperlakukan mereka secara kurang atau bahkan tidak baik dibandingkan
orang atau kelompok dengan karakteristik konvensional. Sebuah aspek penting
teori anti-diskriminasi adalah analisa tentang asal diskriminasi. Terdapat
sebuah sejarah ekstensif tentang diskriminasi dan tekanan pada ras dan
etnisitas di seluruh dunia, walaupun demikian, perubahan-perubahan dari tahun
1980an dan selanjutnya memperkuat hal ini (Pilkington, 2002). Sebagaimana
perjalanan dan komunikasi global menjadi lebih cepat dan komperhensif, migrasi
sebagai sebuah hasil kecelakaan dan perang menjadi lebih luas, dan kelompok
serta budaya etnis berkontak satu sama lain secara lebih sering.
Kelompok-kelompok minoritas penting dengan penampilan fisik yang berbeda
membentuk banyak negara. Pertimbangan tentang diskriminasi pertama kali
berfokus pada pasar perumahan dan pekerjaan, namun menjadi terhubungkan dengan
pemikiran tentang rasisme institusional. Hal ini menyatakan bahwa banyak dari
diskriminasi tidak langsung muncul karena adanya pola-pola hak istimewa dalam
hubungan-hubungan kelompok-kelompok etnis. Hak istimewa tersebut adalah bagian
struktur organisasi, seperti kepolisian, agensi layanan sosial dan kesehatan,
sekolah dan badan-badan pemerintahan dalam masyarakat, dan asumsi-asumsi
kekuatan kinerja mereka, para manajer dan kepemimpinan politik.
Kelompok-kelompok minoritas dapat dikeluarkan dari sistem ekonomi dan sosial
utama, dan menjadi terpusat dalam masyarakat yang miskin secara sosial dan
ekonomi sehingga dikenal sebagai golongan minoritas. Secara konsekuen, kelompok
etnis minoritas dapat terhubungkan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial
yang miskin dalam masyarakat. Representasi-representasi kebudayaan, melalui
media, literatur dan film, menghubungkan kemiskinan dengan golongan minoritas.
Di
antara teori-teori modern tentang ras (Rex dan Mason, 1986), banyak perspektif
sosiologis, dan psikologis, dan biologis menjadi tampak jelas. Beberapa teori
hubungan-hubungan antara ras bersifat pluralis, yakni mereka menyatakan
kemungkinan hubungan-hubungan yang valid dan setara antara kelompok ras dan
etnis. Teori-teori tersebut sering berfokus pada perbedaan budaya dan sosial
daripada ketidaksetaraan sosial. Corollary adalah sebuah pekerjaan
sosial yang berhubungan dengan kewaspadaan dan respek bagi kepekaan pada
perbedaan budaya dan etnis. Ia menilai stimulasi yang kaya pada
hubungan-hubungan sosial dari beragam budaya yang ditampilkan dalam
negara-negara dengan banyak kelompok etnis yang berbeda.
Sebuah
posisi alternative bersifat Marxis atau berbasis kelas. Ia berasumsi bahwa
hubungan-hubungan cenderung menciptakan konflik dan dibebani oleh suatu
kelompok sosial yang superior, menekan kelompok yang lain. Analisa sosiologis
telah mencipatakan literatur tentag konflik di antara ras dan perbedaan status,
hal ini menjadi faktor utama dalam paham Marxis dan analisa-analis yang lebih
konvensional tentang hubungan-hubungan sosial. Rasisme adalah sekumpulan proses
ideologi dan sosial yang mendiskriminasi kelompok lain pada dasar asumsi
keanggotaan rasial yang berbeda (Solomos, 2002: 11). Dominelli (1997)
mengidentifikasi rasisme personal, institusional, dan budaya sebagai elemen-elemen
proses dan ideologi tersebut, dan Solomos menanggapi bahwa terdapat perubahan
atau peralihan dari superioritas biologis menjadi superioritas kebudayaan. Ini
adalah sebuah fenomena dunia bersejarah (Bowser, 1995), dan mempengaruhi
masyarakat berbeda dengan cara yang berbeda pula.
B.
Perspektif Anti-rasis
Tabel 13.1 mengidentifikasikan sejumlah perspektif
dalam anti-rasisme, yang dapat diperluas untuk diterapkan pada kelompok yang
selalu mengalami tekanan. Terdapat juga perdebatan-perdebatan tentang
interaksi dan peran setiap perspektif. Asimilasi berasumsi
bahwa para migrant (pekerja pendatang) pada sebuah negara baru akan
berasimilasi pada kebuadayaan dan gaya hidup negara tersebut. Di mana terdapat
sebuah populasi penduduk asli dan pendatang yang dominan, asimilasi akan
dipengaruhi oleh pendatang (contohnya Australia, lihat LeSueur, 1970). Hal ini
menunjukan bahwa kekuatan kebudayaan yang dominanlah yang menjadi isu, bukan
siapa yang hadir dahulu. Small (1989) menyatakan bahwa para imigran memulai
dengan mengidentifikasi budaya dan gaya hidup negara asal mereka kemudian
mengganti budaya dan cara hidup negara yang baru. Herberg (1993) menyebutnya
sebagai akulutarasi. Isajiw (1997a) menanggapi bahwa ide asimilasi
terlalu sempit, dan Social Incorporation (ketergantungan
sosial) dapat menjadi istilah yang lebih tepat. Ia merujuk pada
pertukaran struktur sosial, budaya dan identitas antara golongan minoritas
dengan mayoritas, mengarah pada resiprositas antara kelompok minoritas dan
mayoritas.
Tabel 13.1 Perspektif-Perspektif
Anti-rasis
Perspektif
|
Penjelasan
|
Konsekuensi Praktek
|
Asimilasi: migrant (pekerja pendatang) atau minoritas
akan berasimilasi pada budaya dan gaya hidup mayoritas.
|
Para migran mengidnentifikasi budaya dan gaya hidup
negara asal mereka dan menggantikan atau mengakulturasikan budayanya pada
budaya dan gaya hidup negara baru.
Inkorperasi sosial (Isajiw, 1997a) merujuk pada pertukaran
struktur sosial, budaya dan identitas antara golongan minoritas dengan
mayoritas, mengarah pada resiprositas antara kelompok minoritas dan
mayoritas.
Sebuah model defisit kebudayaan berasumsi bahwa budaya negara asal tidak
memberikan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan bagi budaya baru
(contohnya bahasa, perawatan anak).
|
Kesulitan-kesulitan personal dan kebudayaan yang
dihadapi pekerja sosial, sering ditafsirkan sebagai kegagalan dalam
substitusi, akulturasi atau inkorperasi, yang dianggap sebagai defisit
kebudayaan.
|
Pluralisme Liberal: semua kelompok harus hadir bersama dan
kesempatan-kesempatan yang setara harus dipastikan oleh jaminan legal dan
administratif.
|
Kelompok imigran dan kulit hitam yang mengalami tekanan,
mengalami kemiskinan yang muncul dari posisi inferior mereka dalam pasar
kerja dan kapasitas mendapatkan gaji yang rendah.
Sering mengarah pada pendekatan buta warna (Dominelli,
1997; 37-40), di mana kelompok-kelompok minoritas diperlakukan sama seperti
yang lain. Hal ini dirancang secara terpisah untuk mencegah ‘tanggapan buruk
kulit putih’ terhadap ketidakadilan dalam kebijakan bagi provisi sosial
kelompok kulit hitam dan lainnya (Ely dan Denney, 1987: 77).
|
Pekerjaan sosial harus memberikan akses yang setara
bagi pelayanan dan pertolongan special untuk memperbaiki kondisi-kondisi
sosial dalam kompensasi bagi kemiskinan yang banyak.
|
Pluralisme Kebudayaan: semua kelompok harus hadir bersama,
memelihara tradisi kebudayaan.
|
Mengembangkan dan menilai pola-pola perbedaan
kebudayaan harus diperkuat. Pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman kebudayaan
yang berbeda harus disebarluaskan.
|
Multikulturalisme, yakni pembelajaran
kebudayaan-kebudayaan yang berbeda, serta kepekaan etnis dan kebudayaan
merupakan hal penting bagi praktek.
|
Strukturalis: divisi-divisi etnis dan budaya diperkuat
oleh dominasi eknonomi dan kebudayaan oleh kelompok-kelompok elit.
|
Divisi-divisi etnis dan gender merupakan dasar dominasi
ekonomi dan sosial kelompok yang mengalami tekanan oleh kelompok yang mendominasi divisi ekonomi
dan sosial dalam masyarakat.
|
Pekerja sosial mengeksplor rasisme mereka sendiri dan
siapa yang memiliki kekuatan dalam situasi-situasi tertentu.
Pekerja dengan keluarga kulit hitam harus menerima
nilai-nilai sosial dan tuntutatn keluarga itu sendiri.
Mengubah rasisme dalam agensi dan bentuk rasisme
lainnya.
Beranjak dari pengendalian menuju mekanisme yang
suportif.
Mengubah praktek dan nilai pekerjaan sosial dengan
mengadvokasi praktek anti-rasisme.
Menghadapai dan membuat rasisme eksplisit.
Bekerja dalam aliansi dengan komunitas-komunitas dan
organisasi kulit hitam, mengikuti prioritas mereka.
|
Perspektif-Perspektif Kulit Hitam: kelompok kulit hitam dan minoritas lainnya
mengembangkan sebuah perspektif tertentu: pada masyarakat karena sejarah dan
pengalaman.
|
Perspektif-perspektif kulit hitam harus dinilai dan
memandu perkembangan sosial dan provisi layanan.
Kelompok-kelompok minoritas memiliki pemahaman
‘epistemik’ langsung pada pengalaman tekanan. Kelompok-kelompok lain harus
berjuang mencapai pemahaman ini (Narayan, 1994).
Kekuatan diungkapkan dalam bahasa dan pembelajaran yang
mendukung asumsi tekananf.
|
Menolong orang kulit hitam dan komunitasnya
berpartisipasi dalam perkembangan layanan dan praktek.
Perspektif-perspektif kulit hitam harus menjadi faktor
dominan dalam kebijakan, pengambilan keputusan dan praktek.
Membuka peluang bagi kontribusi warga kulit hitam pada
masyarakat dan pekerjaan sosial.
|
Sumber:
Denney (1983, 1991); Ely dan Denney (1987); Jenkins (1988); Gould (1994);
Dominelli (1997).
Sebuah isu penting dengan perspektif asimilasi adalah mereka berasumsi
bahwa terdapat defisit kebudayaan, bahwa kebudayaan asli tidak
mengembangkan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan untuk menghadapi
lingkungan yang baru. Hal ini mempatologasikan perbedaan dan berasumsi bahwa
kebudayaan minoritas mengalami defisit. Contohnya, orang akan berpikir bahwa
keterampilan mengurus anak berkurang, atau bahwa tekanan anggota keluarga
wanita tidak tepat dalam masyarakat Barat. Hal ini dapat mengarah pada patologasi
warga kulit hitam (Singh, 1992), sebuah contoh ‘menyalahkan korban’. Di
sini kekuatan digunakan untuk menghapus tekanan dari agenda, sehingga
agensi-agensi tidak mengenali masalah. Pendekatan Herberg (1993) pada
akulturasi menyatakan bahwa pekerja-pekerja sosial harus memahami asal-asal
masalah kebudayaan, bekerja untuk mengubah dan mengembangkan kemampuan untuk
bertahan di masyarakat yang baru. Dengan para pelanggar, pekerja-pekerja sosial harus
memberikan praktek dan mekanisme pengendalian sosial untuk mendukung
akulturasi.
Sebagian
pendekatan anti-rasisme bersifat strukturalis, seperti pekerjaan anti-rasis
Dominelli (1997), yang terdapat dalam Tabel 13.1. Jenkins (1988) menyebutkan
hal ini sebagai sebuah pendekatan konflik, karena ia berasumsi bahwa
masalah inti akan meningkatkan konflik antara kelompok-kelompok bagi
sumber-sumber daya dan kekuatan. Hal ini mengarah pada kritisisme seperti yang
dibahas dalam Bab 10 dalam kaitannya dengan perspektif-persepektif
strukturalis. Perspektif-perspektif kepekaan kebudayaan dan etnis dan kulit
hitam sering melibatkan elemen-elemen penjelasan dari perspektif struktural
namun berfokus pada dominasi budaya dan sosial, daripada analisa ekonomi dan
kelas. Secara konsekuen, ahli-ahli teori sering menyebutkan mereka memberikan
perhitungan rasisme yang tidak tepat. Salah satu aspek kepekaan adalah untuk
menekankan kontribusi orang kulit hitam pada sejarah pekerjaan sosial
(Carlton-LaNey, 1994, 2001; Martin dan Martin, 1995). Hal ini dapat tersembunyi
dalam asumsi-asumsi rasis yang mengabaikan kontrinbusi. Pendangan Ahmad (1990:
3) tentang perspektif kulit hitam menyatakan bahwa pekerja-pekerja sosial harus
mengeksplor literatur dan pengalaman orang kulit hitam. Kita harus berfokus
pada mereka yang mengungkapkan dan mengklarifikasikan sejarah subordinasi orang
kulit hitam pada orang kulit putih, pengalaman rasisme dan ketidakberdayaan dan
mereka yang berfokus pada pemeliharaan tujuan-tujuan kesetaraan dan keadilan
rasial. Praktek harus menekankan pemahaman warga kulit hitam itu sendiri
tentang pengalaman mereka, terutama dalam masa-masa penilaian dalam pekerjaan
sosial. Praktek bersifat ‘mendorong’ (lihat Bab 13). Sumber-sumber yang
diberikan oleh pekerja sosial, komunitas dan organisasi kulit hitam, merupakan
sumber-sumber yang relevan untuk perubahan bagi warga kulit hitam.
Pekerja-pekerja sosial juga harus mengeksplor dan membangun pada provisi
legislatif dan perkembangan-perkembangan kebijakan. dengan cara ini,
kebutuhan-kebutuhan warga kulit hitam dan masyarakat dapat dimasukan dalam
perkembangan, sistem-sistem dan praktek. Para pekerja harus bersikap sensitif
pada perspektif-perspektif kulit hitam dan pengalaman-pengalaman mereka di
dunia, dan upaya-upayanya untuk menerapkan keterampilan praktek konvensional
pada perspektif ini. Metode-metode praktek dapat berkontribusi pada upaya ini.
Contohnya, Martin (1995) menunjukan bagaimana sebuah proses pengeksplorasian
‘sejarah oral’ seorang individu dalam konteks-konteks keluarga dan komunitas
dapat melibatkan perspektif kulit hitam dan komunitas dalam penilaian
profesional. Upaya-upaya harus dilakukan untuk mengembangkan dan menggunakan
informasi sosial ilmiah tentang orang kulit hitam, yang merespon
pemahaman-pemahaman yang mereka miliki tentang dunia (Robinson, 1995). Kita
harus menghindari berasumsi bahwa hanya terdapat satu budaya minoritas, atau
setiap kelompok memiliki sebuah budaya tunggal, namun mengeksplor beragamnya
pandangan dalam setiap kasus (Gross, 1995).
C.
Diskriminasi dan Tekanan yang Lebih Luas
Sebuah cabang penting
lainnya dalam pemikiran tentang pekerjaan anti-diskriminasi datang dari
pengaruh pemikiran feminis (lihat Bab 12). Tekanan yang dialami wanita kulit
hitam yang masalahnya mengandung rasisme dan seksisme mengarah pada sebuah
pandekatan dari perspektif feminis kulit hitam. Sebuah perdebatan penting yang
lebih luas yang memiliki relevansi pada pekerjaan sosial dan ide-ide tentang
keterbatasan fisik, penyakit mental dan keterbatasan belajar serta ekonomi
politik (Phillipson, 1982; Laczko dan Phillipson, 1991; Bytheway, 1995). Banyak
faktor-faktor ini berhubungan satu sama lain (contohnya usia dan etnisitas,
Blakemore dan Boneham, 1994; usia dan gender, Arber dan Ginn, 1991), sehingga
masalah-masalah di mana dua aspek identitas atau lebih mengarah pada tekanan
sosial daoat diperjelas, atau dapat mengarah pada konflik-konflik dalam
tanggapan dan perilaku.
Pendekatan-pendekatan teoritis dalam kaitannya
dengan kelompok-kelompok yang mengalami tekanan lainnya kurang mengalami
perkembangan, namun kita mungkin saja memposisikan mereka dalam
perspektif-perspektif ini. Normalisasi (Wolfensberger, 1972, 1984; Race,
2003) dalam banyak hal mengambil bentuk-bentuk asimilasionis. Hal ini terjadi
karena ia berupaya melibatkan orang-orang dengan keterbatasan belajar ke dalam
kehidupan yang ‘wajar’ (Towell, 1988), sehingga mereka dapat memiliki
peran-peran sosial yang dapat sesuai dengan masyarakat. Walaupun demikiam, ia
juga memiliki elemen-elemen dari posisi perspektif, karena ia berupaya
memperkuat perspektif orang yang mengalami keterbatasan pada situasi mereka. Sebuah
pandangan model sosial pada keterbatasan (Oliver, 1990, 1996) merupakan
sebuah posisi pluralis dengan elemen-elemen struktural yang berpendapat bahwa
model-model medis berkonsentrasi pada ketidakseimbangan orang cacat/mengalami
keterbatasan. Kita harus mengenali definisi-definsi sosial tentang apa yang
merupakan hal normal, di mana menciptakan keterbatasan tersebut. Contohnya,
jika tidak terdapat tangga dalam bangunan, seseorang yang dapat berjalan dengan
baik tidak akan dinyatakan cacat. Masyarakat harus diubah sehingga semua
golongan dapat hadir secara setara. Pengenalan akan ‘komunitas’ di antara
orang-orang cacat (seperti komunitas orang tuli yang terdiri dari orang yang
terlahir demikian yang berkomunikasi dengan bahasa isyarat) menyatakan
kemungkinan adanya sebuah perspektif. Sebuah pandangan ekonomi politis
berdasarkan usia (Laczko dan Phillipson, 1991) sebagian besar bersifat
strukturalis. Ia berpendapat bahwa asumsi-asumsi tentang penuaan berasal dari
eksklusi orang yang lebih tua dalam pasar kerja, membuat mereka mandiri secara
ekonomi dan sosial. Sebuah pandangan hidup cacat (Morris, 1993)
berhubungan dengan posisi-posisi perspektif. Ia berpendapat bahwa
indvidu-individu dan komunitas yang cacat harus mendapatkan layanan langsung
yang dirancang untuk mendukung kemandirian mereka.
D.
Hubungan pekerjaan sosial radikal kepada
anti-diskriminasi
Pertimbangan-pertimbangan tentang konflik sosial
memngarah pada sebuah kerangka pendekatan untuk melawan rasisme dalam pekerjaan
sosial dan pada cakupan yang lebih kecil, kelompok-kelompok yang berkuasa.
Literatur-literatur pekerjaan sosial radikal pada era 1970an sering meliputi
unsure-unsur pada apa yang sekarang disebut sebagai kelompok-kelompok yang
mengalami tekanan, contohnya Milligan (1975) yang mengkaji ‘homoseksualitas’;
Hart (1980) pada masalah-masalah gay dan lesbian; Husband (1980) pada rasisme.
Feminism sebagai analisa berdasarkan kelas juga digunakan pada awal era 1980an
(lihat Bab 12). Tulisan-tulisan utama tentang bekerja dengan kelompok-kelompok
etnis minoritas hadir di AS selama era 1980an, contohnya edisi pertama Devore
dan Schelsinger (1999) yang muncul pada tahun 1981, Jacobs dan Bowles pada 1988
dan Pinderhughes pada 1989, dan di Inggris pada pertengahan 1980an, contohnya
Coombe dan Little pada tahun 1986, Ely dan Denney pada 1987 dan edisi pertama
Dominelli (1997) pada tahun 1988.
Ketentuan diberikan pada banyak perkembangan ini
oleh kegiatan kurikulum perkembangan di otoritas pendidikan Inggris dan AS bagi
pekerjaan sosial (contohnya Norton, 1978; CD Project Steering Group, 1991;
CCETSW, 1991; Patel, 1994, pada semua ras). Perhitungan-perhitungan praktek
periode ini meliputi material tentang anti-rasisme atau perspektif-perspektif
kulit hitam (contohnya Hanvey dan Philpot, 1994) dan semuanya
literatur-literatur Amerika memasukannya sebagai sebuah area utama keahlian
pengetahuan dan praktek. Beberapa peninjauan teori tidak merujuk pada
anti-diskriminasi atau feminism (contohnya Lishman, 1991; Stepney dan Ford,
2000). Hal ini dapat mencerminkan ketidakpastian tentang apakah
anti-diskriminasi merupakan teori praktek yang terpisah, karena ia tidak
merujuk pada banyak masalah-masalah sosial yang dihadapi pekerja-pekerja
sosial, dan dapat lebih baik dianggap sebagai prinsip nilai yang harus
‘mematangkan’ semua pendekatan pada pekerjaan sosial.
Pekerjaan sosial di India menafsirkan konflik
antara kelompok-kelompok sosial yang ada sebagai sebuah masalah komunalisme.
Chandra (1987) mendefinisikan hal ini sebagai sebuah keyakinan bahwa semua
orang mengikuti agama tertentu yang secara konsekuen meliputi,
kepentingan-kepentingan sosial, politik, dan ekonomi. Keyakinan ini mengarah
pada konflik antara perbedaan bahasa dan komunitas keagamaan (Miri, 1993;
Kumar, 1994). Lima strategi konflik telah diidentifikasikan sebagai berikut
(oleh Omen, dikemukakan oleh Kumar, 1994: 65-6):
1.
Komunalisme asimiliasionis,di mana kepentingan-kepentingan
tertentu mencoba merekrut orang lain pada kegiatan mereka.
2.
Komunalisme kesejahteraan, di mana layanan-layanan
dan manfaat sosial dibatasi pada suatu komunitas.
3.
Komunalisme retreatis, di mana kelompok-kelompok menarik diri dari interaksi
dengan yang lain.
4.
Komunalisme retaliatoris, di mana komunitas-komunitas bersikap keras terhadap
komunitas lain ketika mereka menerima ancaman atau tindakan melawan mereka.
5.
Komunalisme separatis, di mana bahasa atau budaya digunakan untuk menciptakan
batas dari masyarakat lain.
Di sini, isu dikonstruksikan untuk mendefinisikan
isu sebagai separatism yang besar atau konflik. Peran pekerjaan sosial dapat
berupa pengurangan konflik dan pencapaian distribusi yang adil akan
sumber-sumber daya. Menerapkan ini pada beberapa negara Barat akan menimbulkan
sebuah pertimbangan bagi strategi-strategi anti-diskriminasi yang berfokus pada
separatisme ekstrim, dan menyatakan bahwa hal tersebut penting bagi pemahaman
dan tanggapan pada perspektif-perspektif spesifik dan kebutuhan-kebutuhan
kelompok minoritas.
E.
Analisa Praktek Anti-diskriminasi
Sebuah penciptaan pada era 1990an adalah sebuah
pendekatan yang meliputi semua bentuk tekanan dalam sebuah pendekatan
anti-diskriminasi (Thompson, 1993) atau anti-tekananf yang umum (Dalrymple dan Burke, 1995).
Keduanya membuat sebuah analisa diskriminasi-dalam kasus Darlrymple dan Burke
mengambil pekerjaan awal Norton (1978)-yang mengambil pandangan kosentrik
tentang kekuatan sosial yang relevan. Gambar 13.1 membandingkan setiap istilah
yang berkaitan dengan pendekatan-pendekatan tersebut. Posisi Norton memandang
individu dan keluarga mereka, serta komunitas sebagai sesuatu yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain (1978: 4) dalam sebuah sistem sosial yang lebih luas.
Identifikasi utama individu adalah bagi pemeliharaan sistem. Sistem yang lebih
luas dipandang sebagai ‘mengambil perilaku masyarakat yang lebih luas dalam
kaitannya dengan individu’ (1978: 4). Teori anti-diskriminasi Thompson (2003a)
menghubungkan tingkat-tingkat analisa personal/psikolgis, budaya dan
sosial/structural tentang masalah-masalah sosial. Pandangannya telah berkembang
tanpa rujukan pada Norton, namun serupa. Di sini tingkat personal (P) adalah
hubungan-hubungan interpersonal, dan perasaan atau psikologi personal, perilaku
dan tindakan antara orang-orang, termasuk praktek pekerjaan sosial, yang
terutama diwakili dalam tingkat ini. Ia berada dalam konteks budaya (C), yang
mempengaruhi dan membentuk bentuk-bentuk tindakan dan pikiran individu, yakni
tingkat C merujuk pada cara-cara berpikir, merasa, dan bertindak bersama.
Tingkat ini juga berbicara tentang persamaan antara orang-orang dalam kelompok
yang berbeda, sebuah consensus tentang normalitas dan asumsi bahwa orang
mengkompromisasikan norma-norma sosial yang diciptakan dalam budaya-budaya
tertentu. Kita menginternalisasikan norma-norma budaya ini. Tingkat-tingkat ini
menjadi tak terpisahkan dalam sebuah tingkat struktural (S), di mana sebuah
order sosial yang diciptakan dan serangkaian divisi-divisi sosial yang
diterima. Order sosial ini beserta struktur-strukturnya, dan norma-norma serta
asumsi budaya juga perilaku personal yang dihasilkannya, datang dari penerimaan
order sosial dan divisi-divisinya. Pekerja-pekerja sosial memiliki sejumlah
pengaruh pada tingkat personal, namun mengurangi pengaruh atas masalah-masalah
pada tingkat budaya kemudian struktural.
Analisa Dalrymple dan Burke (1995), mencerminkan
sebuah kewaspadaan pada kedua pendahulunya, mengembangkan sebuah model praktek
yang meliputi pekerja sosial dan klien dalam partnership, berkomitmen untuk
berubah agar dapat mencapai kesetaraan yang lebih lagi dalam masyarakat. Ini
beroperasi pada tingkat perasaan, mencerminkan biografi klien dan pekerja.
Melawan hal ini, budaya sementara dapat berada dalam konflik masyarakat luas,
dan mendukung seorang individu melawan ide-ide dan struktur yang lebih luas.
Budaya dalam kasus apapun merupakan sebuah konsep yang rumit. Ia mengimplikasikan
kumpulan nilai-nilai sosial yang tidak berubah, dan berasumsi bahwa
anggota-anggota kelompok yang diidentifikasi akan selalu menerima nilai-nilai
tersebut. Nyatanya, sumber pengaruh pada seorang individu dapat beragam dan
pengaruh pada kelompok etnis sosial juga variabel.
Gambar 13.1 Tiga lingkaran perumusan praktek anti-tekanan
Terdapat masalah pada pandangan koesentrik ini,
karena ia dapat berasumsi bahwa ide-ide dan struktur sosial yang lebih luas
sering dimediasi oleh budaya yang lebih kuat dalam pengaruh pada ide-ide dan pemikiran
individu. Melawan hal ini, budaya sementara dapat berada dalam konflik
masyarakat luas, dan mendukung seorang individu melawan ide-ide dan struktur
yang lebih luas. Budaya dalam kasus apapun merupakan sebuah konsep yang rumit.
Ia mengimplikasikan kumpulan nilai-nilai sosial yang tidak berubah, dan
berasumsi bahwa anggota-anggota kelompok yang diidentifikasi akan selalu
menerima nilai-nilai tersebut. Nyatanya, sumber pengaruh pada seorang individu
dapat beragam dan pengaruh pada kelompok etnis sosial juga variabel.
F.
Praktek anti-diskriminasi, kepekaan etnis dan
pekerjaan sosial lainnya
Anti-diskriminasi dan anti-tekanan berupaya
menginkorperasikan sebuah pemikiran melawan diskriminasi terhadap semua
kelompok dalam pekerjaan sosial. Analisa Thompson (1993) tentang praktek
anti-diskriminatori merupakan hal penting sebagai perhitungan pertama untuk
memberikan sebuah rasionalisasi teoritis bagi praktek pada ragam perilaku
diskriminatori. Ia membahas gender, kesukuan, pertambahan usia, keterbatasan,
dan orientasi seksual, agama, bahasa, kebangsaan, wilayah, hinggan
keterbelakangan mental dan kecacatan fisik. Hal ini mencegah perpisahan
bentuk-bentuk berbeda diskriminasi dalam sebuah hierarki di mana satu lebih
penting dari yang lain. semua bentuk diskriminasi dipandang sebagai sesuatu
yang penting. Mereka memiliki pengaruh potensial pada satu sama lain sehingga
kerugian yang dihasilkan dari salah satu atau lebih bentuk diskriminasi menjadi
lebih dipengaruhi. Menjadi wanita, lebih tua dan berasal dari sebuah minoritas
etnis, contohnya, telah digambarkan sebagai bahaya ganda (Norman, 1985).
Ide-ide pluralisme kebudayaan mengaksentuasikan
elemen budaya perbedaan etnis, contohnya perbedaan pakaian, kebiasaan sosial,
kontribusi seni dan musik, serta makanan dan kebiasaan makan. Pendidikan
anak-anak dalam kebiasaan dan agama merupakan sebuah strategi penting dan
multikulturalisme mempengaruhi pendidikan pada era 80an. Sebuah pendekatan
serupa juga diterapkan pada pekerjaan sosial dan profesi serupa untuk
memperkuat kepekaan pada kebutuhan dan pilihan antara kelompok etnis yang
berbeda. Berkembang dari sini adalah pemikiran tentang pekerja yang memiliki
‘kompetensi budaya’ (Lum, 1999; O’Hagan, 2001) untuk mengerjakan pekerjaan
mereka dengan respek pada pemeliharaan perbedaan dan pemahaman
kebudayaan-kebudayaan inti yang akan berkontak dengan mereka. Forte (1999)
menyatakan bahwa pekerja sosial mengembangkan ‘alat-alat’ informasi tentang
nilai-nilai berkaitan dengan budaya yang berbeda-beda.
Menempatkan sebuah penekanan pada kebudayaan akan
menimbulkan kesulitan. Kebudayaan dapat secara relatif tidak berubah, tetap
menjadi sekelempok nilai sosial yang mendominasi, dan berasumsi bahwa
anggota-anggota kelompok yang diidentifikasi akan selalu menerima nilai-nilai
tersebut. Melawan asumsi ini, sumber pengaruh pada individu atau masyarakat
akan bervariatif. Multikulturaslisme dalam pendidikan dikritik karena mendorong
orang untuk cepat menilai kebudayaan lain, tanpa penghargaan yang dalam dan
alasan di balik perbedaan yang ada. Berlaku pada pekerjaan sosial, ahli teori
anti diskriminasi berpendapat bahwa ia dapat mendorong orang menghargai perbedaan
yang hanya muncul di permukaan, tanpa menghadapi diskriminasi dan
ketidaksetaraan yang substansial. Hal ini menimbulkan resiko pengabaian dalam
perbedaan di antara kategori, mensubordinasikan kebudayaan-kebudayaan
alternatif dan penafsiran Barat tentangnya, atau menyederhanakan mereka dan
menyangkal perbedaan filosofi dan praktek dalam pandangan-pandangan kebudayaan
(Gross, 1995). Dengan cara ini, multikulturalisme tidak menemukan
ketidaksetaraan, diskriminasi dan
kedalaman perbedaan kebudayaan. Pengalaman pribadi saya menyatakan bahwa akan
lebih baik menanyakan kebutuhan klien berkaitan dengan kebudayaanya, daripada
membuat asumsi dari generalisasi luas dari berbagai literatur. Fellin (2004)
berpendapat bahwa multikulturalisme juga gagal menemukan perbedaan dalam
komunitas kulit putih, hanya berfokus pada perbedaan kelompok-kelompok etnis
minoritas dan kulit putih.
Mengambil pendekatan yang berbeda pada perbedaan,
Cox dan Ephross (1998), seperti Lee (2001, Bab 13), menekankan lensa yang
digunakan pekerja sosial dalam melihat klien dan situasi sosial mereka, dan
berpendapat bahwa kita harus mengidentifikasi aspek-aspek homogentias dan
heterogentitas dalam kelompok etnis yang kita hadapi. Sehingga ketika kita
menghadapi situasi di mana etnisitas adalah masalahnya, kita harus menilai di
mana terdapat hubungan-hubungan dengan isu yang lebih ketidaksetaraan dan
rasisme strukturalis yang lebih luas, namun juga mengidentifikasi isu-isu yang
mempengaruhi kelompok, termasuk perbedaan-perbedaan seperti gender dan seksualitas.
Kita dapat mengidentifikasi bahwa seorang pria Afrika Karibia mengalami
ketidaksetaraan structural dalam masyarakat Barat, namun juga bekerja pada
isu-isu spesifik yang timbul oleh hubungan-hubungan gender opersif dengan
istrinya dan isu personal dan sosial yang timbul karena is sadar bahwa dirinya
seorang gay. Seeley (2004) menyatkan bahwa dalam pekerjaan jangka pendek dengan
orang yang berasal dari pengalaman kebudayaan, untuk menghadapi isu-isu
merupakan hal penting bagi klien.
Manfaat-manfaat praktis datang dari
multikulturalisme di mana pekerja-pekerja sosial dari kelompok populasi yang
dominan menghadapi klien-klien dari kelompok etnis dan budaya lainnya. Praktek
mereka akan lebih baik dan sensitif dengan mersepon kebutuhan-kebutuhan akan makanan
dan pengasuhan anak, dan agensi-agensi dapat diatur untuk memperhitungkan
ekspektasi-ekspektasi kebudayaan, seperti festival dan ritual keagamaan, dan
perbedaan bahasa dengan memberikan penafsiran dan informasi dengan bahasa yang
tepat. O’Hagan (2001) merujuk pada ‘keutamaan upaya di atas pengetahuan’, nilai
tinggi yang diharapkan klien dari kelompok minoritas pada pekerja-pekerja
sosial yang bertanya bagaimana bekerja dengan mereka daripada berasumsi
berdasarkan perhitungan-perhitungan mayoritas atau streotipe yang
digeneralisasikan tentang kelompok minoritas tersebut. Pekerja sosial yang
bertanya bagaimana seseorang dari kebudayaan yang berbeda harus ditangani atau
seorang pekerja sosial residental yang bertanya bagaimana seorang anak
berpakaian untuk menghargai agamanya, walaupun mereka tidak mampu menilai
kebutuhan-kebutuhan ini secara akurat dari pengetahuan mereka sendiri. Hal ini
dapat berkaitan dengan kritisisme multikulturalisme yang berlaku pada pekerjaan
sosial bahwa mendorong asumsi-asumsi budaya dan penghargaan perbedaan
kebudayaan di permukaan. Houston (2002) menginkorperasikan ide-ide dari
ideologi Bourdieu untuk menyatakan bahwa pekerjaan yang memiliki kepekaan
kebudayaan berupaya mengidentifikasi hubungan-hubungan antara kebudayaan, kekuatan
dan reproduksi struktur-struktur sosial. Ide-ide dan asumsi kebudayaan muncul,
dipengaruhi oleh kekuatan kelompok-kelompok tertentu, dan berkontribusi pada
reproduksi struktur-struktur sosial yang menguntungkan kelompok-kelompok kuat
dan merugikan mereka yang lemah. Dengan cara ini, kita dapat melihat
bagaimana kebudayaan berhubungan dengan
kekuatan dan kelas politik untuk memelihara divisi-divisi sosial dan
diskriminasi.
Manfaat-manfaat
praktek dari pekerja-pekerja sosial dalam masyarakat yang beragam telah
memastikan penggunaan pendekatan-pendekatan kompetensi dan perkembangan etnis
dan kebudayaan yang berkelanjutan. Walaupun demikian, pragmatism dan penekanan
mereka pada konsep kebudayaan memiliki arti bahwa elemen-elemen teoritis dan
ideologis teori anti-diskriminasi menjadi pesaing teori kepekaan etnis.
G.
Politik teori anti-tekanan dan kepekaan budaya dan
etnis
Anti-diskriminasi dan kepekaan
sebagai sebuah perspektif alternative
Persaingan antara
pendekatan anti-diskriminasi dan kepekaan berasal dari
1. Penekanan pada
penjelasan struktural dalam teori anti-diskriminasi.
2. Penekanan pada
inklusi-inklusi budaya dan sosial dalam teori kepekaan.
Sementara kedua
perspektif melibatkan dua elemen di atas, penjelasan-penjelasan struktural akan
mengganggu inklusi dan pendorongan strategi yang menjadi fokus teori kepekaan. Praktek-praktek
anti-rasis, sebagaimana menjadi lawan perspektif multicultural, menurut Naik
(1991:51, menekankan keaslian) ‘menghadirkan ketidaksetaraan struktural dalam
masyarakat, termasuk dinamika kekuatan ras, ekonomi, dan politik’. Ahli
strukturalis anti-rasis Inggris menekankan kekuatan yang berasal dari posisi
strukturalis, dibahas dalam Bab 10. Praktek kepekaan mendorong kewaspadaan dan
penerimaan penjelasan-penjelasan struktural yang mengarah pada penguatan
pendekatan, namun tidak memprioritaskan mereka untuk mengadaptasi praktek
menuju transformasi sosial. Beberapa penulis Inggris (contohnya, Sivanandan,
1991; Husband, 1991; Mullard, 1991) dengan jelas menolak perspektif pluralis,
dan menghubungkan anti-rasisme pada tujuan-tujuan politik sosialis. Lainnya
(seperti Ahmed, 1991) berkomentar pada kegagalan teori radikal strukturalis
yang berbasis kelas pada tanggapan perspektif kulit hitam, terutama perspektif
wanita. Singh (1992), dalam memandang perspektif patologis kulit hitam sedang
bergerak pada sebuah pandangan kulit hitam, dan Ely & Denney (1987), dalam
menyatakan sebuah perhitungan historis, menyatakan bahwa perkembangan teoritis
sedang berjalan menuju posisi-posisi strukturalis dan perspektif kulit hitam.
Perspektif-perspektif kulit hitam dan
multikulturalis memandang diri mereka sendiri sebagai alternatif utama. Kita
harus berfokus pada pemahaman dan bekerja dengan perbedaan kekuatan dan menilai
kesempatan untuk memperoleh kekuatan bagi perspektif kulit hitam, partisipasi
kulit hitam dan pengaruhnya serta kendali dalam layanan dan perilaku. Mereka
berhubungan dengan pendekatan perspektif hidup cacat dan beberapa aspek
normalisasi dan perspektif hidup normal. Hal ini membawa kita pada peluang
perspektif kelompok yang mengalami tekanan, dengan sebuah analisa rinci dan
pemahaman pandangan-pandangan dan pengalaman kelompok yang mengalami tekanan.
Ini menjadi dasar bagi tindakan pekerjaan sosial, dan untuk memperkuat keterlibatan
anggota kelompok tersebut dalam manajemen dan perkembangan layanan-layanan.
Beberapa penulis, termasuk Dalrymple dan Burke
(1995), yang pekerjaannya dibahas secara lebih rinci pada bagian berikutnya,
bergerak pada penguatan bentuk-bentuk praktek anti-tekananf. Pendekatan
tersebut berpendapat bahwa kekuatan tidak harus disamakan dengan kendali, namun
dapat tersebar luas dalam masyarakat, dan dapat diperoleh kelompok-kelompok
yang lebih lemah. Ahli strukturalis menganggap pandangan-pandangan tersebut
gagal berfokus pada hal-hal utama ketidakseimbangan kekuatan. Fook (1993: 17),
mengkritik pendorongan tidak harus diinformasikan oleh tekanan struktural.
H.
Masalah-masalah dengan anti-tekanan
O’ Hagan (2001)
menampilkan sebuah penilaian multikultural anti-diskriminasi sebagai berikut:
1.
Ia berfokus pada rasisme, sementara mengabaikan
aspek-aspek kebudayaan penting dalam diskriminasi, seperti kebudayaan.
2.
Ia berfokus pada perbedaan ‘hitam/putih’, merujuk
pada ide-ide ‘tradisi kulit hitam’, ‘pengalaman kulit hitam’ dan ‘perspektif
kulit hitam’ yang berlawanan dengan harapan-harapan banyak orang dalam kelompok
yang dilabeli, yang memilih menghapus perbedaan sejarah, budaya dan agama
sebagai aspek identitas pribadi dan sosial.
3.
Ia menggunakan istilah-istilah seperti ‘etnisitas’,
dengan sebuah arti dalam rujukan sejarah pada ‘bukan kita’, yang diasosiasikan
dengan istilah-istilah peyoratif seperti ‘pembersihan etnis’, dan digunakan
secara ofensif, sebagaimana dalam merujuk pada orang dalam komunitas kulit
hitam dan minoritas. Perubahan-perubahan tersebut telah mengarah pada
tuduhan-tuduhan istilah ‘kebenaran politik’ (lihat di bawah ini).
Sebagai tambahan, Clarke (2003) menyatakan bahwa
asal-asal struktural rasisme berinteraksi dengan tanggapan untuk menciptakan
campuran-campuran kompleks faktor-faktor; tidak satupun dari aspek internal dan
eksternal dapat diabaikan. Robinson (1999) berpendapat bahwa tahap di mana
orang telah mencapai perkembangan identitas rasial lebih penting daripada
identitas rasial mereka semata. Secara keseluruhan, gambaran yang ada lebih
menggambarkan kumpulan-kumpulan interaksi sosial yang kompleks daripada
diskriminasi. Bahkan jika demikian, Robinson (2001) berpendapat bahwa terdapat
sebuah pengalaman bersama diskriminasi dan rasisme.
Upaya-upaya untuk menciptakan sebuah model teoritis
praktek anti-diskriminasi dan anti-tekanan tampak mengabaikan pertimbangan
anti-rasis dengan feminism. Walaupun demikian, akar-akar ideologis dan teoritis
feminism dalam ideologi politik, dan sosial budaya yang lebih luas dan banyak
karakteristik penting membuat saya memperlakukannya secara terpisah dalam Bab
12.
Anti-diskriminasi memandang interaksi antara tekanan
yang beragam sebagai suatu analisa yang kompleks dan menuntut. Walaupun demikian,
hal ini menimbulkan masalah-masalah praktis dan ideologis. Macey dan Moxon
(1996) mengkritik anti-rasisme karena ia menekankan rasisme sebagai sebuah
penjelasan dalam konteks tingkat kemiskinan dan kualitas lingkungan yang amat
rendah. Pendidikan yang buruk, kejahatan dan disorder, pengangguran dan
ketidaksetaraan merupakan faktor-faktor penyebab masalah, dan anti-diskriminasi
melebih-lebihkan pentingnya rasisme dan interaksinya dengan sumber keterbatasan
lainnya. Sebuah agensi atau seorang pekerja sosial dapat menspesialisasikan
cara-cara yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan posisi yang setara dalam
menghadapi semua bentuk tekanan. Pada tingkat-tingkat ide pekerja sosial dan
klien dapat mengalami kesulitan dalam menerima kesetaraan tekanan, contohnya
diskriminasi usia, lesbian, dan gay, serta ras tentunya. Hal ini dapat terjadi
karena prasangka mereka sendiri atau penilaian mereka yang menyatakan bahwa
diskriminasi usia, memiliki konsekuensi yang tidak begitu serius bagi
klien-klien tertentu dibandingkan dengan rasisme.
I.
Hegemoni, kebenaran bahasa dan politis
Elemen-elemen struktural
praktek anti-diskriminasi berhubungan dengan kritisisime konvensional radikal
tentang kegagalan-kegagalan teori pekerjaan sosial tradisional (lihat Bab 10).
Karena struktur dan persamaan yang muncul dari asumsi-asumsi budaya merupakan
bagian yang amat penting dari perilaku personal, diskriminasi tidak secara
keseluruhan muncul dari prasangka pribadi, walaupun dalam hal tertentu memang
terjadi demikian. Pertama kali ia muncul dari kelompok-kelompok kuat dalam
masyarakat yang memelihara diskriminasi dalam masyarakat sebagai cara
memelihara kekuatan mereka. Mereka melakukannya dengan menggunakan hegemoni
mereka, yakni melalui pengendalian sosial atau keyakinan tentang sifat alamiah
masyarakat yang menciptakan sebuah ideologi. Diskriminasi diciptakan dan
dipelihara oleh keyakinan-keyakinan dan perilaku personal yang diperkuat oleh
ideologi-ideologi yang berkembang dari kekuatan dalam memelihara dan memperkuat
posisi dominan mereka dalam struktur-struktur sosial mereka. Ini merupakan
sebuah konsep penting dalam teori kritis, sebagaimana yang kita lihat dalam
perhitungan Fook tentang praktek kritis dalam Bab 11. Wilson dan Bersford
(2000) secara lebih lanjut berpendapat bahwa cara pekerjaan sosial memberikan
bobot penting pada praktek anti-tekananf memudahkan pekerja-pekerja sosial
untuk menyesuaikan ide-ide pengguna layanan yang mengalami tekanan sementara
mempertahankan kekuatan untuk mendefinsikan apa yang bersifat tekananf. Pengguna-pengguna
layanan masih kehilangan kendali atas bagaimana kehidupan mereka didefinisikan,
dan dalam hal ini ia bersifat tekananf.
Salah satu cara di mana diskriminasi dipelihara
melalui makna budaya adalah dengan penggunaan asumsi bahasa dan sosial untuk
mendukung konvensi-konvensi yang bersifat diskriminatif. Hal ini menciptakan
hubungan-hubungan penting dengan teori konstruksi sosial. Denney (1992)
berpendapat bahwa teori postrukturalis memberikan sebuah cara dalam
mengeksplorasi, melalui laporan-laporan agensi atau analisa pengadilan,
bagaimana orang beranjak dari asumsi pada pembuatan keputusan-keputusan
diskriminatif. Contoh lain adalah penggunaan kata ‘spastik’ dan ‘idiot’ sebagai
istilah abuse, walapun mereka adalah istilah-istilah teknis yang mengarah
bentuk keterbatasan-keterbatasan dalam belajar. Sekarang, saya adalah seorang
kulit putih dan bertumbuh tanpa mengenal orang kulit hitam manapun sampai masa
remaja akhir saya, sehingga saya kesulitan dalam memikirkan sebagai orang kulit
putih secara normal dan menjadi orang kulit hitam sebagai sesuatu yang tidak
biasanya. Kita cenderung mengabaikan asumsi-asumsi tentang diri kita sendiri
dan orang lain. Sebagai hasilnya, Owusu-Bempah (1994) menunjukan,
pekerja-pekerja sosial berasumsi bahwa identitas diri dalam anak kulit hitam
akan menjadi problematik, ketika mereka tidak membuat asumsi-asumsi yang sama
tentang anak-anak kulit putih. Hal ini menyatakan bahwa kita harus terbuka dan
fleksibel dalam pandangan kita tentang semua kelompok etnis dan mendengarkan
perspektif mereka, daripada mengabaikan isu yang berkaitan dengan identitas
etnis.
Berhubungan dengan pertimbangan ini untuk mencapai
perubahan bahasa dan budaya dari asumsi-asumsi diskriminasi adalah masalah
‘kebenaran politik’. Konsep ini merujuk pada pertimbangan dengan bentuk praktek
anti-diskriminasi dan penggunaan bahasa yang terlalu hati-hati. Philpot (1999)
menunjukan ‘kebenaran politik’ terlalu sering digunakan sebagai istilah abuse,
dengan makna yang sangat kecil, atau dalam gurauan yang merujuk pertimbangan
anti-diskriminasi yang berlebihan. Contoh utama Pinker (1999) akan konsekuensi
adalah sebuah periode di mana pekerja-pekerja sosial dibebani untuk mengejar
adopsi dan penanganan ras yang sama, ketika terdapat bukti yang terlalu sedikit
bahwa ini adalah faktor yang mengendalikan. Sebagai hasilnya, ia berpendapat
bahwa anak dan orang tua angkatnya melewatkan kesempatan-kesempatan ini. Dent
(1999) berpendapat bahwa provisi-provisi layanan efektif merupakan sebuah fokus
yang lebih penting anti-diskriminasi daripada penggunaan bahasa atau penyebab
prosedural, yang digunakan untuk menemukan ketidakmemadaian. Hal ini disetujui
secara luas bahwa bahasa sensitif merupakan kepemilikan yang tepat. Fairclough
(2003), meninjau kembali isu tersebut secara ekstensif, menunjukan bahwa
tuntutan yang mengarah pada tuduhan-tuduhan kebenaran politik memudahkan
perubahan sosial dan politik melalui sebuah pendekatan baru: dengan mengubah
perilaku budaya dan bahasa daripada berusaha mengubah institusi-institusi,
hukum atau kebijakan sosial. Upaya mengubah perilaku dan struktur sosial dengan
mengubah bahasa merupakan cara baru bagi sebagian besar orang dan dianggap
sebagai sebuah serangan ofensif personal yang arogan, daripada sebuah cara yang
valid dalam mencapai perubahan sosial. Secara lebih lanjut, Fairclough
berpendapat, tidak seperti banyak kampanye perubahan sosial, para penyelenggara
kampanye tidak bekerja dengan cara yang strategis, mengupayakan perubahan
sebagai wujud keadilan, dan artinya mereka tidak membangun kasus seutuhnya,
sebelum tanggapan yang amat negatif muncul.
Dalam rangkuman, perspektif-perspektif
anti-diskriminasi dan anti-tekananf merupakan hal penting dalam praktek
pekerjaan sosial dan organisasi dalam kegagalan mereka menginkorperasikan perubahan
sosial utama untuk mencapai kesetaraan dan keadilan sosial bagi kelompok
minoritas yang mengalami tekanan. Pendekatan-pendekatan budaya dan kepekaan
mempertanyakan fokus strukturalis pada ketidaksetaraan dan transformasi sosial.
Pilihan yang ditampilkan bagi praktisioner adalah untuk menerima kritik
struktural seutuhnya (sebuah strategi sosialis-kolektivis), atau fokus pada
perspektif kelompok minoritas sebagai cara berkomitmen memeunuhi
kebutuhan-kebutuhan dalam praktek terapi dan interpersonal (sebuah strategi
terapi-refleksif). Untuk menghindari dikotomi ‘atau’, pekerja-pekerja sosial
akan membutuhkan strategi-strategi individualis-reformis yang
menginkorperasikan kewaspadaan strukturalis dengan kepekaan. Walaupun demikian,
hal ini mengkompromisasikan pandangan-pandangan yang terutama berasal dari
perspektif strukturalis.
J.
Dalrymple dan Burke: praktek anti-tekanan
Dalrymple dab Burke
(1995) menempatkan banyak ide-ide yang dibahas di sini sebagai sebuah
perhitungan komperhensif praktek anti-tekananf. Fokus mereka adalah pada
bagaimana tanggungjawab legal dan profesional pekerja sosial dapat
diimplementasikan dengan lebih kuat. Mereka mengembangkan model mereka dalam
area yang menyulitkan pekerjaan sosial-penggunaan kekuatan dan otoritas-dalam
pencarian perlindungan bagi public dank lien. Ia membuat perumusan sendiri
secara lebih kuat bagi fokus pada area pekerjaan sosial yang tampak berkonflik
dengan penyerangan diskriminasi dan perkembangan pemberdayaan bagi klien.
Titik awal mereka adalah sebuah pernyataan bahwa praktek
anti-tekananf membutuhkan perspektif teoritis yang jelas untuk menginformasikan
sebuah dasar nilai yang akan memudahkan pekerjaan anti-tekananf. Sebuah
pemahaman yang jelas tentang kekuatan dan tekanan juga harus menginformasikan
nilai-nilai praktek. Kekuatan tampak berkaitan dengan hubungan-hubungan
personal dan sosial di mana seseorang atau sebuah kelompok secara konsisten
menghindari yang lain, yang tampak tidak berdaya, dari pencapaian kebutuhan dan
aspirasi. Tekanan dipahami sebagai sesuatu yang dikarakterisasikan oleh
hubungan-hubungan personal dan sosial yang didasarkan asumsi tentang
ketidakseimbangan kekuatan, sehingga orang menginternalisasikan penerimaan akan
kurangnya kekuatan mereka dalam kehidupan mereka. Dalrymple dan Burke
berpendapat bahwa hubungan yang jelas harus tampak antara lingkungan individu
yang dapat membuat mereka tidak berdaya antara sistem sosial yang lebih luas,
yang memperkuat ketidakberdayaan pada kelompok-kelompok tertentu.
Pekerja-pekerja sosial harus waspada akan konteks-konteks agensi sehingga
mereka tidak hanya menerima isu-isu kebijakan tentang provisi layanan sebagai
konstrain yang rutin, dan mereka harus membangun refleksi, keterlibatan, dan
evalusi dalam apapun yang mereka lakukan.
Prinsip-prinsip tersebut harus diterapkan dalam praktek
sehingga memudahkan pekerja-pekerja sosial untuk memahami di mana mereka dapat
menerapkan nilai dan hak legal serta kewajiban dalam sebuah cara yang liberal. Juga, bagi Dalrymple dan Burke, praktek anti-tekananf
meliputi:
1. Sebuah pendekatan yang mendorong.
2. Bekerja dengan klien.
3. Intervensi yang minimal.
Pekerja-pekerja sosial dapat menggunakan praktek-praktek untuk
menginformasikan penggunaan kekuatan-kekuatan konvensional praktek pekerjaan
sosial dan menghindari tindakan tekananf. Contohnya, seorang pekerja sosial
tidak boleh menjadwalkan seorang pemberi layanan untuk membantu wanita tua
melakukan pemeriksaan dokter karena klien tersebut dapat melakukannya sendiri.
Namun, pekerja sosial harus membahas resiko-resiko pengaturan sendiri, bekerja
sesuai dengan rencananya untuk menghindari munculnya masalah. Hal ini
menghindari terjadinya sebuah sistem baru yang menghilangkan banyak
tanggungjawab bagi tindakan bagi klien. Pendekatan tersebut akan berarti bahwa
ia memiliki tindakan yang lebih sedikit dalam bertanggungjawab bagi dirinya
sendiri.
Sebuah pendekatan yang mendorong membutuhkan fokus pada menolong klien
memperoleh kendali yang lebih lagi atas kehidupan mereka, menjadi waspada dan
menggunakan sumber-sumber daya mereka sendiri, menghadapi halangan-halangan
dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi mereka, memperdengarkan suara mereka
dalam pengambilan keputusan dan dapat menghadapi situasi di mana mereka
mengalami ketidaksetraan dan tekanan. Pendorongan membutuhkan pembuatan
hubungan antara posisi personal klien dan ketidaksetaraan struktural. Hal ini
melibatkan menolong orang memahami bagaimana hal-hal terjadi pada mereka dan
berusaha menemukan cara-cara di mana mereka mendapatkan kendali atas beberapa
aspek kehidupan mereka. Hal ini mengurangi kebingungan dan menolong mereka agar
lebih terlibat dalam kehidupan mereka sendiri.
Contohnya, Ibu Wilkins merupakan seorang wanita tua
yang menabung seumur hidupnya, namun sekarang ia tidak dapat mengatur biaya
pensiunnya yang kecil. Hal ini membuatnya merasa tidak kompeten dan bingung
dengan prioritas-prioritasnya. Pekerja sosial menolongnya memahami bahwa ia
sedang mengalami mobilitas yang rendah, sehingga ia tidak dapat pergi ke toko
yang lebih murah, namun harus berbelanja di toko lokal yang lebih mahal, dan ia
mengalami kurangnya provisi pensiun, yang selama ia simpan di bank. Ia dapat
membuat prioritas bagi pengeluaran harian seperti makanan, penyewaan, pemanasan
dan listrik. Hal ini dapat dibantu oleh biaya pensiunnya dan ia dapat merasa
bahwa ia mengatur uang secara efisien. Ia dapat menggunakan tabungannya bagi
pengeluaran utama pada pakaian dan alat-alat rumah tangga. Dengan cara ini, ia
dapat merasa memiliki kendali atas tabungannya, memandangnya sebagai sesuatu
yang tepat pada apa yang selama ini ia persiapkan, daripada habis untuk
kebutuhan harian. Pekerja sosial juga harus mampu memperoleh nasihat baginya
pada cara-cara ia menginvestasikan uangnya untuk penghasilan yang lebih baik. Dalam
kasus ini, pekerja sosial bekerja pada tingkat interpersonal untuk
memberdayakan sumber-sumber klien dan menggunakan pengetahuan dan informasi
agensi pada tingkat organisasional. Dalam jangka panjang, informasi dari
situasi-situasi seperti ini dapat diakumulasikan pada pekerjaan atas tingkat
kebijakan untuk memperbaiki pembuatan provisi pensiun. Dalrymple dan Burke bekerja pada beberapa
tingkat yang berbeda:
1. Perasaan, di mana mereka berupaya mengurangi pengaruh
pengalaman-pengalaman personal yang membuat klien merasa tidak berdaya. Mereka
menekankan, sebagaimana Rees (1991-lihat Bab 12), pentingnya mengeksplor
biografi dalam memahami pengalaman personal.
2. Ide, di mana mereka berkonsentrasi pada perasaan
klien akan harga diri dan berupaya memperkuat kemampuan mereka dalam
mengendalikan kehidupan, perasaan dan kemampuan bertindak mereka. Hal ini
serupa dengan pekerjaan dukungan ego dalam pekerjaan sosial psikodinamik dan
banyak fokus pada teori kognitif. Tujuan di sini adalah membawa kesadaran yang diubah
di dalam diri klien sesuai kapasitas mereka.
3. Tindakan, di mana dibebani dengan pengupayaan
perubahan-perubahan dalam agensi, sistem kesejahteraan dan sosial yang lebih
luas, yang mempengaruhi klien.
Aspek lain praktek anti-tekananf Dalrymple dan Burke melibatkan
kerjasama. Salah satu perumusan kerjasama, diidentifikasi oleh Stevenson dan
Parsloe (1993) dari sebuah proyek layanan masyarakat, membutuhkan
kebijakan-kebijakan berikut:
1.
Hanya menyelidiki masalah dengan kesadaran klien
yang nyata.
2.
Hanya bertindak di mana terdapat kesepakatan yang
jelas oleh klien atau syarat legal.
3.
Mendasari tindakan pada pandangan dan kebutuhan
anggota keluarga yang relevan.
4.
Mendasari tindakan pada perjanjian yang disepakati
daripada asumsi atau prasangka tentang kebutuhan dan harapan klien.
5. Memberikan klien tingkat peluang yang cukup.
Dalrymple dan Burke menyarankan agar kita menggunakan persetujuan
tertulis, yang dihasilkan dalam keadaan di mana terdapat komunikasi efektif
antara pekerja sosial dank lien. Juga, klien harus memiliki akses pada
advokat-advokat independen yang dapat mewakili pandangan mereka secara efektif.
Perjanjian-perjanjian tertulis layanan dan penjelasan hak-hak klien menciptakan
fokus yang jelas bagi mereka untuk mampu memahami tanggungjawab mereka.
Kerjasama melibatkan pekerjaan interagensi yang dan perencanaan layanan,
sehingga klien memiliki tingkat pilihan yang paling luas dengan tantangan
profesional dan agensi yang kecil untuk melatih pilihan tersebut.
Intervensi yang minim membutuhkan pekerja-pekerja yang waspada akan
kekuatan potensial mereka. Hal ini dapat menekan klien, mengarah pada
intervensi non-partisipatif atau kegagalan melakukan intervensi ketika
penggunaan kekuatan mereka yang tepat dapat menolong dan melindungi klien,
pekerja-pekerja sosial harus merujuk tingkat-tingkat intervensi sebagai
berikut:
1.
Tingkat primer, untuk mencegah munculnya masalah-masalah. Layanan-layanan dapat disesuaikan
agar dapat menolong klien, sumber-susmber daya komunitas dimobilisasikan untuk
menolong mereka, dan publik atau orang yang terlibat dapat mengatur diri mereka
sendiri.
2.
Tingkat sekunder, untuk menemukan masalah-masalah dan mencoba menghadapinya sejak awal,
sebelum mereka menjadi serius. Upaya ini mengurangi jumlah intervensi dalam
kehidupan klien.
3.
Tingkat tersier, untuk mengurangi konsekuensi-konsekuensi bagi orang ketika sesuatu
menjadi salah atau tindakan telah dipaksakan pada agensi.
Pendekatan ini menekankan kita untuk tidak menunggu sampai saat paling
penting, kemudian dipaksakan dalam sebuah tindakan tekananf. Lebih baik
mengintervensi pada tahap awal untuk menghindari inkrusi yang lebih lanjut
dalam kehidupan klien.
Sebuah elemen krusial pendekatan ini adalah menghubungkan
strategis-strategi bagi perubahan yang lebih luas pada tindakan sehari-hari.
Hal ini mencegah penekanan pada klien dengan tindakan-tindakan pekerja sosial
dan layanan serta kebijakan agensi. Sebuah pendekatan strategis pada isu-isu
meliputi:
1.
Mengidentifikasi dengan jelas isu dan tujuan yang dapat menyelesaikan
masalah.
2.
Memecahkan isu dan tujuan sehingga mudah diatur
3. Menetapkan batasan waktu
atau sasaran.
4. Meninjau kembali dan
mengevaluasi pencapaian pada definsi dan sasaran.
5. Memnbuat
hubungan-hubungan dengan pihak lain yang bekerja pada masalah serupa.
K.
Devore dan Schelsinger: praktek etnis-kepekaan
Sebagaimana dengan banyak perhitungan praktek
dengan kelompok-kelompok minoritas dan etnis, Devore dan Schelsinger (1997)
memulai sebuah pemahaman posisi historical kelompok kulit hitam dan minoritas
lainnya, serta pemahaman demografis dan budaya tentang pengalaman hidup mereka.
Titik awal mereka adalah pengalaman sejarah pada perbudakan dan migrasi serta
akuisisi kependudukan di AS. Secara serupa, namun dengan material sejarah yang
berbeda akan relevan di negara-negara lain. Contohnya, di Australia, Kanada,
Selandia Baru dan AS, pengalaman hidup populasi asli sebelum datangnya orang
kulit putih selama periode kolonial dan setelah berakhirnya hubungan-hubungan
antara kelompok etnis akan menjadi krusial.
Dasar krusial selanjutnya bagi praktek kepekaan
etnis adalah pemahaman posisi kelompok etnis yang berbeda dalam masyarakat
tertentu. Deviore dan Schelsinger menyebutnya ‘realitas etnis’, kata ‘realitas’
menganggap bahwa posisi ini sering menjadi buruk daripada idealitas yang
ditampilkan oleh agensi-agensi resmi, daripada menyatakan suatu persepsi kenyataan.
Isu-isu penting adalah apakah kelompok-kelompok yang beragam setuju dengan
istilah tersebut (contohnya hitam atau putih) dan bagaimana isu-isu
digambarkan. Contohnya, beberapa orang tidak suka disebut kelompok minoritas
atau mengalami tekanan, atau dikaitkan dengan kelompok manapun, karena mereka
akan dianggap sebagai korban beberapa kategorisasi; yang tidak bisa diterima
oleh mereka. Negara-negara berbeda telah menggunakan terminologi-terminologi
yang sesuai dengan sejarah mereka dan demografi, contohnya bagi istilah Amerika
yang digunakan yakni ‘warga berwarna’ yang belum digunakan di tempat lain.
Pandangan-pandangan pada isu-isu ini berubah sebagaimana pandangan lain yang
berbeda muncul, dan beragam menurut negara masing-masing, sehingga pekerja-pekerja
sosial harus waspada akan perdebatan-perdebatan dan bersikap sensitif pada
pandangan-pandangan orang tertentu yang kita hadapi.
Berhubungan dengan isu-isu ini, Devore dan
Schelsinger juga menghadapi kebijakan dan ideologi tentang hubungan-hubungan
sosial antara kelompok-kelompok etnis, yakni sebagai berikut:
1. Asimilasionisme, di AS ideologi ‘melting
pot’ relevan, di mana ia berasumsi bahwa kelompok dan budaya yang berbeda dapat
berintegrasi bersama untuk menghasilkan suatu kebudayaan bersama; banyak masyarakat
memiliki ideologi-ideologi yang memiliki asumsi serupa bahwa asimilasi dapat
diinginkan atau sebaliknya.
2. Konflik etnis, yang dapat berhubungan
dengan ide-ide persaingan etnis atas pengaruh atau dominasi.
3. Pluralisme etnis, pemikiran bahwa banyak
kelompok etnis yang berbeda dapat berdampingan dalam masyarakat yang berbeda.
4. Identitas etnis, ritual dan pelayanan,
sekolah dan kelompok yang terpisah diajarkan untuk memelihara atau
mengembangkan kelompok-kelompok etnis yang dapat diidentifikasi.
Sejak ‘ras’ itu sendiri adalah sebuah konstruksi
sosial, semua ide-ide ini, yang berasumsi bahwa kelompok-kelompok budaya yang
berbeda memiliki makna tersendiri dalam pandangan mereka sendiri dan pandangan
lainnya, merupakan ideologi-ideologi yang dipegang orang tentang apa yang harus
atau dapat terjadi, daripada sebuah presentasi yang tepat akan kompleksitas
hubungan-hubungan sosial. Contohnya, di Inggris selama periode imigrasi
Commonwealth baru pada era 1950 dan 60an, terdapat sebuah asumsi akan integrasi.
Walaupun demikian, kelompok-kelompok minoritas etnis memilih hidup dengan orang
yang berasal dari tempat yang sama. Terdapat juga penerimaan akan orang-orang
yang membentuk kelompok etnis mereka sendiri. Baru-baru ini, konsekuensi
separatisme dalam pengalaman sosial dan pendidikan mengatah pada
pernyataan-pernyataan bahwa kebijakan integrative dibutuhkan.
Devore dan Schelsinger juga mempertimbangkan
pentingnya pengalaman hidup yang sama dari tahap-tahap kehidupan.
Pemahaman-pemahaman historikal, sosial, dan psikologis tentang semua material
ini merupakan elemen penting bagi praktek etnis-kepekaan ini. Mereka kemudian
mengidentifikasi enam lapisan pemahaman dan membangun pada dasar ini, tampak
pada Tabel 13.2. hal ini juga membentuk dasar perhitungan praktek. Sebuah
analisa teori-teori pekerjaan sosial yang beragam mengikuti dan meliputi
beberapa dalam buku ini, mempertimbangkan di mana mereka sejajar dengan praktek
kepekaan etnis ini. Banyak dianggap lemah dalam memperhatikan ‘kenyataan etnis’
Tabel 13.2 Praktek Kepekaan Etnis Devore dan Schelsinger
Unsur dalam Praktek
|
Prinsip Praktek
|
Tanggapan
|
Asumsi dan prinsip.
|
Sejarah individu dan kolektif
meliputi masalah dan solusi.
|
Sejarah kelompok
Sejarah individu
Interaksi antara sejarah kelompok
dan individual.
|
|
Sekarang adalah hal yang amat
penting.
|
Fokus pada masalah sekarang.
Memahami bagaimana masa lalu mempengaruhi masalah
sekarang.
|
|
Etnisitas adalah sumber kohesi, identitas, dan
kekuatan.
|
Keluarga.
Ritual dan perayaan.
Sekolah-sekolah etnis.
Bahasa.
|
|
Konteks dan sumber-sumber daya sosial dibutuhkan bagi
peningkatan hidup, memberikan kontribusi utama bagi fungsi manusia.
|
Perhatian simultan pada isu-isu
mikro dan makro.
|
|
Fenomena yang tidak disadari
mempengaruhi fungsi individu.
|
Pentingnya kebudayaan.
|
Lapisan pemahaman umum:
1. Nilai-nilai pekerjaan sosial.
|
Nilai-nilai seperti:
1.
Konsepsi yang dipilih orang.
2.
Hasil yang dipilih orang.
3.
Cara-cara yang dipilih dalam menghadapi orang.
|
Pentingnya keunikan.
Pentingnya realisasi diri dan
kesempatan.
Memaksimalkan arahan diri.
|
2. Pengetahuan dasar akan perilaku manusia
|
Kejadian keluarga dan individu.
Teori peran sosial.
Teori sistem sosial.
Teori sosiologis.
Teori psikologi.
Teori domain spesifik.
|
Merujuk pada teori-teori dunia
klien yang relevan dengan masalah klien.
|
3. Pengetahuan dan keterampilan
dalam layanan dan kebijakan agensi.
|
|
Memahami komunitas dan organisasi
dan adaptasinya pada ‘realitas etnis’. Memberikan tempat yang nyaman bagi
realitas etnis, memahami pengalaman-pengalaman etnis.
|
4. Kewaspadaan diri, termasuk pengamatan pada pengaruh
etnisitas sendiri.
|
Siapakah saya?
Siapakah saya di mata orang lain?
Saya ingin menjadi seperti apa?
Etnisitas ganda.
|
Pengalaman keluarga dan masa kecil
bersifat relavan.
Merujuk pada situasi-situasi di
mana pekerja sosial memiliki pengetahuan tersembunyi tentang etnis lain,
contohnya melalui pernikahan orang dari etnis lain.
Menjelaskan pertanyaan, sumber dan
fokus masalah anda kepada klien, dan menyesuaikannya pada realitas etnis.
|
5. Pengaruh realitas etnis.
|
Merujuk pada konsekuensi sosial dan ekonomi
diskriminasi.
|
Menginkorperasikan realitas etnis dalam bekerja pada
masalah, memberikan informasi, mengidentifikasi halangan, dan terminasi.
|
6. Memahami jalan kepada pekerja
sosial
|
Jalan-jalan pada pekerjaan sosial
dapat beragam dari koersif dan sukerela.
|
Mengidentifikasi semua informasi
sebelum bertemu klien; mempertimbangkan relevansinya dengan kenyataan.
|
Sumber: Devore dan Schelsinger (1999).
Perhitungan
praktek Devore dan Schelsinger terdapat dalam Tabel 13.2, bermula dari
sekumpulan asumsi dan prinsip, beberapa ide tentang praktek dan adaptasi
generalis prosedur dan adaptasi pekerjaan sosial untuk menginkorperasikan praktek
etnis-kepekaan. Hal ini penting, karena mereka mengkritik kegagalan
banyak teori praktek dalam menanggapi kebutuhan praktek ini. Pekerja-pekerja sosial
dapat memberikan saran-saran mereka untuk menyesuaikan pedoman praktek lainnya.
Buku mereka mengeksplor
gambaran rinci menurut model kelompok yang berbeda. Sebuah elemen penting dalam
praktek adalah pekerja-pekerja sosial menyesuaikan pemikiran mereka dengan
berfokus pada ‘realitas etnis’ sebagai sebuah elemen penting bagi keputusan
penialaian dan praktek yang mereka buat. Model tersebut tidak menyarankan
tindakan-tindakan spesifik yang merupakan kepekaan etnis. Ia membutuhkan
pekerja-pekerja sosial yang waspada akan bukti dan informasi tentang isu-isub
etnis dalam komunitas mereka dan mempengaruhi individu dari kelompok minoritas,
dan menginkorperasikan bahwa pemahaman dalam semua praktek mereka.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Teori-teori anti-diskriminasi dan anti-tekanan dalam pekerjaan sosial
memiliki pengaruh yang signifikan pada era 1980 dan 90an untuk alasan teori dan
praktek. Pendekatan-pendekatan
anti-diskriminasi/tekanan dan kepekaan menggarisbawahi pentingnya tanggapan
pada diskriminasi dan tekanan, terutama pada area etnis dan ras, sebagai bagian semua pekerjaan sosial.
2.
Perspektif
anti-diskriminasi, anti-opresif, dan anti-rasis berfokus pada perlawanan
diskriminasi dalam masyarakat yang mencerminkan kepentingan kelompok atau
golongan yang kuat.
3.
Dalam praktek, banyak masyarakat dan agensi
menghadapi tekanan-tekanan dari migrasi populasi melalui gerakan-gerakan
ekonomi dan pengungsian. Secara lebih lanjut, perilaku di antara
kelompok-kelompok seperti orang cacat dan wanita menjadi tidak begitu berbeda,
dan menerima pola-pola kekuatan, terutama kekuatan patriakis (dari garis keturunan
bapak).
4.
Perspektif-perspektif teoritis ini telah menolong
menganalisa dan merespon isu-isu sosial yang baru ini. Perspektif kelompok
yang mengalami tekanan dan orang kulit hitam serta pendekatan-pendekatan
multikultural juga menolong pekerja sosial menerapkan pengetahuan baru tentang
kelompok-kelompok etnis minoritas dan wanita yang beragam, orang cacat dan
lansia dalam hubungan-hubungan sosial.
5.
Teori-teori anti-diskrminasi dan anti-tekanan juga memberikan manfaat
teoritis atas pendekatan-pendekatan lain pada pekerjaan sosial. Mereka
mengembangkan pendekatan-pendekatan radikal untuk memperhitungkan dasar-dasar
yang berbeda bagi tekanan kelompok dan ketidaksetaraan juga divisi-divisi dalam
masyarakat, memberikan perhitungan isu-isu efektif yang harus dihadapi
pekerjaan sosial, secara bergiliran berkontribusi pada
perkembangan teori kritis. Mereka juga memperkuat dasar sosilogis pekerjaan
sosial.
6.
Kritisisme tentang teori anti-diskriminasi dan
anti-tekanan bergantung pada perspektif yang diambil. Pandangan feminis liberal
dan anti-rasis, dan teori pluralis multikultural dan kepekaan, dikritik karena
mereka menerima order sosial masa kini dan tidak cukup mengenali
perbedaan-perbedaan kepentingan dan kekuatan dalam masyarakat yang mengarah
pada tekanan atas kelompok tertentu. Jika kita menerima kritisisme semacam ini,
kita akan dibawa menuju perspektif strukturalis.
7.
Pendekatan kepekaan kebudayaan dan kelompok kulit
hitam menolak pernyataan bahwa semua anggota kelompok tersebut sebagai korban tekanan,
dan menggunakan analisa yang kompleks pada kebutuhan-kebutuhan mereka.
Respon-respon plural sensitif akan dibutuhkan, sementara mengingat kembali
pentingnya analisa struktural layanan-layanan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
yang meningkat dari kelompok-kelompok seperti ini. Semua pekerja sosial harus
bertanggungjawab bagi sebuah tujuan sensitif pada kebutuhan-kebutuhan yang
diungkapkan dan harapan-harapan orang yang mereka tangani. Jika hal ini
membutuhkan pemahaman yang terspesialisasi, maka akan terdapat rujukan pada
seseorang dengan pengetahuan dan pengalaman yang tepat. Kita telah melihat bahwa
beberapa teori feminis, anti-tekanan dan senstivitas telah merekrut
pendekatan-pendekatan pemberdayaan untuk merespon masalah ini.
8.
Pendekatan-pendekatan kepekaan berfokus pada hubungan-hubungan
kebudayaan atau sosial sebagai cara menggantungkan pada isu-isu ini dalam pendekatan praktek lainnya.
9.
Rasisme
berisi ideologi-ideologi dan proses sosial yang mendiskriminasikan keanggotaan
rasial yang beragam, makin berfokus pada faktor-faktor budaya.
10. Perspektif anti-rasis alternatif adalah asimilasi,
pluralism liberal dan kebudayaan, strukturalisme dan perspektif kulit hitam.
11. Anti-diskriminasi meliputi diskriminasi ras, gender,
keterbatasan fisik dan mental, seksualitas dan usia; membawa isu-isu tersebut
bersama-sama menginkorperasikan sebuah penjangkauan penjelasan struktural,
namun tidak akan mencerminkan pandangan orang-orang yang terlibat atau menolong
menetapkan prioritas pelatihan.